Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts

Musafir Kelana | Sajak: Kuntjoro, ST

0

Pelabuhan ini kelak kan kutinggalkan. Sudah terlalu lama berdiam disini.
Pelabuhan yang dahulu gersang itu Kini telah subur, rimbun menghijau

ini sejarah berawal mula...
aku berlabuh di Pelabuhan ini secara aneh
ya...sangat aneh...
Karena Bukan aku yang menuju padanya
akan tetapi ...
justru ialah yang menepi ke perahuku
kuambil saja hikmahnya bahwa
rupanya ia telah tertulis di lauhul mahfuz...*
dibawa takdir... untuk kami saling bertemu

pelabuhan ini begitu tajam tatapan matanya
bercahaya...
berbinar binar...
dan...
jenaka...
kupandang sejenak saja
sangat sejenak
aku melihat potensi hebat ada padanya

bara apinya hanya butuh pemantik agar berkobar
dan perlu arahan agar kobarannya bermanfaat
maka tanpa berpikir panjang
Akhirnya Perahupun kutambatkan,
kuabdikan diri untuk membangun ulang kembali dirinya

Kuperiksa sekeliling
kiranya apa-apa yang perlu dibereskan dan diperbaiki
ternyata memang benar
Pelabuhan ini begitu mengagumkan
tapi sayang ia tidak terawat, ia rapuh
pondasi-pondasinya begitu dangkal dan rentan
hingga mudah patah bila terinjak bahkan oleh hewan pengeratpun

semakin kukaji dan kupelajari
Kegersangan pelabuhan inipun begitu terasa
Hawa panas dari dalam dadanya
Rasa amarah yang membuncah
kepada siapa? karena apa?
(kelak akupun tau dan memahami)
iapun Rindu akan kasih sayang dan butuh uluran tangan...
dan tanpa ragu tangankupun terulur menggenggam tangannya

Rencana kususun
Titik-titik Pondasi Pada kedalaman tertentu
kutancapkan dengan kokoh
agar tak goyang diterpa angin
agar tak roboh diterjang badai
landasan jiwanya kubongkar dan kususun ulang
bingkai pikiran dan wawasanpun tak luput kupasang

kemudian aneka pepohonan kutanam:
pohon kayu, pohon buah, pohon bunga dan rerumputan. semuanya dilakukan:
agar kokoh kakinya
agar kuat tangannya
agar teguh hatinya
agar bening jiwanya
agar luas cakrawalanya
agar tinggi pandangannya
agar sejuk hawa di dadanya
agar reda amarah di hatinya

dalam perjalanan pembangunannya
terkadang ombak menerjang
badai menghalang...
tapi tak kami hiraukan itu semua
karena janjiku dan janjinyalah
karena saling percaya kamilah
karena komitmen kamilah
maka pembangunan ini harus terus berjalan
dengan kesabaran, ketekunan dan ketabahan

tahap demi tahap hasilnya mulai terlihat
pondasinya kini telah kokoh
landasan jiwanya telah licin mulus
wawasannya telah meluas
pisau pikirannya semakin tajam
tempat berteduhpun telah menjulang
sejuk pepohonan rindang
diseling buah ranum nan segar
kembang setaman beraneka rupa
selang seling menyejukkan hati
tak lupa rumput halus nan tebal memanjakan kaki
kini kurasa pengabdian telah usai

semua janjiku telah kulunasi
janji-janjinya?
ya... janji-janjinya pasti kan ditunaikan pula
aku percaya itu
karena dia bukan pendusta
karena dia tidak khianat

saatnya pun tiba...
perjalanan ini harus dilanjutkan
kembali arungi lautan luas
dibawah hantaman terik mentari
ditemani burung camar dan penghuni lautan
dinaungi gelapnya malam
berkawan cahaya bulan dan taburan bebintang
melawan gelombang kecil dan besar
hadapi angin sepoi dan badai
kusiapkan perahuku yang semakin tua dan rapuh
pun dayung dan layarnya begitu juga
semakin lapuk dan koyak

berkemas dan bersegeralah aku
namun kiranya..
bekal apa yang ingin kubawa dari pelabuhan ini?
hanya bekal terbaik yang kan kubawa
ianya adalah:
canda dan tawanya
contoh dan kerjanya
keuletan dan kesabarannya
kerjasama dan kesetiaannya
ketulusan dan janji-janjinya
kepercayaan dan komitmennya
kelembutan dan kekerasannya

suatu saat...
kelak aku kan kembali
berkunjung menyapa
mengenang masa-masa indah
masa-masa penuh suka dan duka
karena di pelabuhan inilah
kutemukan siapa sebenarnya yang berhak digurui
siapa yang berhak diteladani
ternyata engkaulah yang berhak menyandang itu

dayung telah kusiapkan
layar belum lagi berkembang
tali siap kulepaskan
sejenak kupandang kembali pelabuhan itu
berat hati meninggalkanmu
sebab horcruxku** tersimpan disini
dan horcruxmu ada padaku
namun
perjalanan mencari diri harus dilanjutkan
karena kuyakin dalam gelapnya malam
pasti ada setitik cahaya

renungan dan pelajaran yang kudapat di tempat ini adalah
sebenarnya...
kita adalah pelabuhan-pelabuhan

hakikatnya...
kita adalah perahu-perahu di tengah lautan

dan kita hanyalah seorang musafir
yang mesti berbenah diri
menambal sejarah hidup yang koyak

sebab aku adalah musafir kelana
sebab kita adalah musafir kelana
maka hidup harus dilanjutkan
mencari cahaya terang
dan mencari ampunan

RSI Room 2106 An-Nur 2
12 Februari 2018

Penulis  : Kuntjoro, ST



*Lauh Mahfuzh (Arab:لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario/ catatan kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali. (Wikipedia-red)
**Horcrux adalah "suatu wadah di mana seorang Penyihir Hitam menyembunyikan bagian dari jiwanya untuk tujuan mencapai keabadian". Dengan sebagian jiwa yang disimpan, seorang penyihir memiliki hidup yang sangat panjang selama selama horcrux itu tetap utuh, biasanya disimpan di tempat yang aman. (Wikipedia-red)

Si Denok | Cerpen: Danarto

0



Suara nyanyian rame-rame itu..., Bung Karno siapa yang punya..., semakin mendekati pintu kamar tidur Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Udara panas bulan Juni yang penuh kumandang revolusioner, ditingkah riang gembira, dan diakhiri dengan romantisme, memantapkan 6 Juni wajib dimeriahkan.


Meskipun orang Jawa tidak pernah mengadakan selamatan pada hari kelahirannya, namun agaknya sayang jika hari ulang tahun Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi, dilewatkan begitu saja tanpa kue dengan lilin-lilin di atasnya yang harus diembus. Kepala rumahtangga istana membawa kue itu dan Bu Hartini mengetuk pintu kamar tidur. Para pagar ayu, yang terdiri dari sekitar tiga puluh orang dara ayu melantunkan suara nyanyian rame-rame itu semakin menanjak, Bung Karno siapa yang punya. Yang punya kita semua....


Dengan ogah-ogahan bangun dari ranjang, Bung Karno berjalan berjingkat-jingkat karena lantai penuh buku yang bertebaran, menuju pintu. Begitu pintu dibuka, Bu Hartini menghambur memeluk Bung Karno dan menciumnya. Sesaat kedua insan ini berpagut mesra, bagai angsa berpagut di telaga. Suara nyanyian para pagar ayu semakin menderu. Lalu bertepuk tangan meriah sekali.


''Terimakasih. Terimakasih,'' desir Bung Karno sambil menggandeng tangan Bu Hartini dan membimbingnya.


Di depan pintu kamar tidur itu, pelayan menyodorkan meja dan kue ulang tahun diletakkan di atasnya. Dengan lembut Bung Karno meniup lilin-lilin itu, membelah kuenya dan memberikannya kepada Bu Hartini.


Semuanya menyanyi, semuanya makan kue, semuanya berbahagia.

Apa pun namanya, indah julukannya. Apa pun bentuknya, indah penampilannya. Apa pun kegiatannya, indah karyanya.


Bung Karno dan Bu Hartini nampak berbahagia. Lihatlah tatapan mata mereka yang hadir, para pegawai istana, para pengawal, para pagar ayu, para tamu, begitu sayu, begitu mengagumi Bung Karno. Semua yang hadir agaknya mencoba meraih kebahagiaan seperti kebahagiaan yang telah dimiliki Bung Karno dan Bu Hartini. Biar sedikit, kebahagiaan pemimpin besar itu tepercik ke arah para pengagum dan pengabdi yang berdiri mengelilinginya. Satu-persatu mereka menyalami Bung Karno dan menciumi tangannya. Satu dua orang tamu wanita meminta Bung Karno mencium keningnya. Akhirnya semua berpotret-potretan dengan Bung Karno dan Bu Hartini, di teras maupun di taman belakang.


Di antara para tamu pagi itu, terdapat sejumlah pemuda revolusioner yang akan memimpin Konferensi Pemuda Revolusioner. Para pemuda itu, sekitar lima puluh orang, datang dari berbagai pelosok Tanah Air. Mewakili daerah masing-masing, para pemuda itu mengemban suatu misi revolusi, yang menurut wejangan Bung Karno, revolusi belum selesai. Di Ibukota kemudian digalang seluruh kekuatan pemuda dari seluruh organisasi pemuda di bawah partai masing-masing, menyambut konferensi itu. Para pemuda yang bertamu di istana itu meminta Bung Karno memberi wejangan di hadapan ribuan pemuda dan pemudi di Istora Senayan, sebelum Konferensi Pemuda Revolusioner berlangsung.


Bung Karno adalah Pemimpin Besar Revolusi yang lapang dada. Mengabulkan setiap permintaan, asal permintaan itu revolusioner sifatnya. Tampak tak pernah lelah, Bung Karno setiap saat mengekspresikan keinginannya. Pemimpin yang memiliki kemampuan multidimensi ini, menguasai masalah politik, ekonomi, sosial. Bung Karno juga menguasai masalah-masalah kesenian. Di bidang kesenian inilah Bung Karno begitu unggul dibanding pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Presiden Kennedy dari Amerika, PM Khruschov dari Uni Soviet, maupun Presiden de Gaulle dari Prancis,  misalnya, berada jauh dari segala gegap gempita kesenian yang menjadi selera dan koleksi Bung Karno. Koleksi seni rupa Bung Karno, lukisan dan patung, mencapai 2000 buah. Karya-karya itu di antaranya terdiri dari 47 buah lukisan wanita telanjang dan 38 buah patung perempuan dan lelaki telanjang. Karya-karya inilah yang menjadi spirit berkesenian Bung Karno.


Makan siang hari itu di Istana Merdeka tampak lezat di lidah para pemuda dan pemudi revolusioner. Mereka mondar-mandir untuk nambah, rasanya berulang-ulang tidak juga kenyang. Mereka agaknya baru tahu bahwa ada daging-daging panggang segede itu di istana. Juga masakan yang beraneka macam tentu merupakan sesuatu yang baru bagi lidah yang harus dibiasakan dengan masakan sederhana, sebagai rasa 'sama rasa sama rata' dengan rakyat jelata yang diperjuangkannya. Mereka harus memiliki kedisiplinan revolusioner. Jika tidak, tidak ada artinya mereka menyandang julukan pemuda revolusioner. Mereka menenteng piring dengan penuh makanan, menikmatinya sambil berdiri di dalam, di teras, maupun lesehan di taman belakang.


Tanah Air di zaman Bung Karno adalah Nusantara yang gegap-gempita. Politik adalah panglima. Segalanya tersisih, kecuali politik. Semua mendukung Bung Karno. Sebagian besar cendekiawan, ulama, dan pengusaha, berdiri di belakang Bung Karno yang ditopang oleh kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan kesenian. Banyak yang tidak setuju bahkan menentang Bung Karno, namun mereka kalah suara maupun kalah kekuatan.


Perwakilan pemuda revolusioner dari berbagai daerah yang mendapat kesempatan bertemu Bung Karno memperoleh bekal sebelum konferensi esoknya berlangsung. Sambil ngopi dan menikmati buah-buahan, di teras belakang istana mereka ngobrol dengan Bung Karno dengan santai.


''Mohon maaf, Yang Mulia,'' cetus seorang pemuda.


''Mohon maaf juga saya, Yang Mulia,'' jawab Bung Karno.


Beberapa pemuda pemudi tertawa.


''Bapak Presiden, Pemimpin Besar Revolusi,'' kata pemuda tadi dengan tersipu.


''Sudahlah,'' tukas Bung Karno, ''Jangan banyak basa-basi. Panggil aku Bung Karno.''


''Oke, Bung Karno,'' sambung pemuda tadi.


''Bagus. Kamu bisa bilang oke, persis pemuda Amerika,'' sambung Bung Karno.


Beberapa pemuda pemudi tertawa lagi.


''Kami sebenarnya kaget. Melihat lukisan dan patung koleksi Bung di istana ini, membikin hati kami penuh tanda tanya.''


''Mengapa?''


''Begini, Bung. Banyak sekali lukisan dan patung wanita telanjang, maksudnya apa?''


''Kamu sudah menikmati karya-karya itu, kamu harus berani menafsir.''


''Kami....''


''Takut kalau aku marah? Apa pemuda revolusioner punya rasa takut?''


''Baiklah, Bung. Kami tidak mengerti selera lukisan dan patung Bung.''


''Oke, tak ada dialog. Kalau kalian tidak mengerti, apa pun usahaku untuk menerangkannya, akan sia-sia.''


''Selera lukisan dan patung Bung, bertentangan dengan revolusi kita.''


''Apanya yang bertentangan?''


''Selera Bung ternyata borjuis.''


''Buktikan.''


''Lukisan dan patung wanita telanjang hanya menjadi selera kaum reaksioner dan kontra revolusi yang semuanya itu kaum borjuis. Karya seni rupa demikian, meninabobokkan revolusi, dus bikin kita melempen.''


''Buktinya, aku tidak melempem. Bertahun-tahun aku bertahan sebagai pemimpin revolusioner. Malah lebih garang daripada kalian.''


''Bung tidak melempem, tapi para menteri melempem.''


''Jangan ngawur, kamu! Buktikan!''


''Menurut pengamatan kami, para menteri cuma jadi yesman.''


''Lebih ngawur lagi!''


''Bung kura-kura di dalam perahu.''


''Kamu, he, kalian, sudah gaharu cendana pula.''


Lagi-lagi beberapa pemuda dan pemudi tertawa.


Sambung Bung Karno, ''Betul-betul aku sudah pikun jika memang benar para menteri adalah para yesmen. Aku selalu minta pendapat Perdana Menteri dan Perdana Menteri memberi pendapatnya dan aku laksanakan pendapatnya itu. Apa itu namanya Perdana Menteri yesman?!''


''Bung hanya membela diri.''


''Menteri Pertanian lebih pandai daripada aku soal-soal pertanian, kok aku menyetirnya, itu kan aku jadi keblinger.''


''Bung menekan mereka dan mereka menjadi yesman.''


''Aku menekan kabinetku dengan lukisan dan patung telanjang? Ha ha ha, ini pendapat yang sungguh-sungguh istimewa. Para menteri menikmati lukisan dan patungku kalau mereka sedang berada di istana. Selebihnya mereka di rumah sibuk oleh hobinya masing-masing.''


''Koleksi seni rupa Bung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran kita yang luhur dan agung,'' sela seorang pemudi.


''Lukisan dan patung wanita telanjang adalah lambang keindahan. Jika nilai-nilai ketimuran kita bukan keindahan, lebih baik aku tinggalkan.''


''Lebih dari buruk, koleksi telanjang Bung bertentangan dengan moral dan agama.''


''Kalian semuanya ndeso. Kalian tidak becus menafsir kesenian tapi ngotot bicara kesenian. Apa yang kalian ketahui tentang perempuan telanjang? Bagaimana kalian bicara tentang wanita telanjang kalau kalian tidak pernah melihat wanita telanjang. Lukisan atau patung wanita telanjang tidak ada hubungannya dengan moral dan agama."


''Jangan marah, Bung.''


''Aku marah! Marah besar! Aku pikir para pemuda revolusioner bisa fasih bicara kesenian. Sontoloyo! Kalau kalian tidak paham kesenian, apa yang kalian pahami tentang wanita telanjang?!''


''Bung....''


''Tidak setiap ketelanjangan adalah amoral. Bahkan Menteri Agama dan para kiai, memahami koleksi seni rupa saya. First-lady kalian oke-oke saja ketika aku memajang lukisan wanita telanjang di kamar tidur. Tamu-tamu yang datang dari dusun yang paling terpencil di Tanah Air, biasa berpotret-potretan menyandar di patung Si Denok yang telanjang itu. Hakekat dari kesenian adalah keindahan. Para seniman mengejar keindahan, seperti para pemimpin mengejar keadilan bagi seluruh rakyat.


''Mengapa harus telanjang?''


''Mengapa tidak telanjang?''


''Kami tidak paham.''


''Kalian tidak bakal paham, sampai kalian mampu mereguk keindahan dari figur-figur telanjang. Aku pajang Si Denok karya Pastori dari Swis di taman halaman belakang karena sikapnya yang sedang berjongkok memberikan aksentuasi keindahan secara keseluruhan taman itu. Nah, kalian lihat, betapa keindahan itu bisa lahir dari berbagai unsur yang mendukung.''


''Patung laki-laki pemanah telanjang di depan istana....''


''Bagus. Patung itu karya Strobl dari Hongaria. Apa pendapatmu?'' tanya Bung Karno sambil menunjuk  seorang pemudi.


Pemudi itu cuma tersenyum sambil menunduk yang disambut tertawa oleh teman-temannya.
Bung Karno nampak puas memberi wejangan tentang kesenian.


''Aku taruh di depan istana, patung pemanah itu supaya setiap saat bisa diserap keindahan dan semangat perjuangannya oleh setiap orang yang lewat. Dalam hal ini, moral dan agama di satu pihak dan kesenian di seberang yang lain. Kalau dicampur urusannya, bisa kacau. Ada wanita yang bisa mengangkat senjata, ada wanita yang khusus memberikan keindahan. Keduanya memiliki kekuatan yang setara.''




Judul Buku: Kacapiring
Cerpenis: Danarto
Penerbit: Banana, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Juni 2008
Jumlah cerpen: 18 judul
Tebal: 148 halaman

Gadis Kecil Melintas di Yerusalem | Cerpen: Danarto

0


Pertempuran terus menderu. Sudah lima jam belum juga reda. Pasukan Israel merangsek pejuang Palestina yang bertahan. Di antara puing rumah dan toko pejuang Palestina menyembul dan menyelinap. Rentetan tembakan tentara Israel mengenai potongan-potongan tembok.



Kami terjebak di Gereja Nativity, Yerusalem, tempat kelahiran Kanjeng Rasul Yesus Kristus. Sehabis umrah, kami sekitar lima belas orang menuju Palestina dengan bus. Kami singgah dan menginap di Amman, ibukota Yordania, mandi-mandi di Laut Mati. Dengan sejumlah bus, kami diangkut bersama dengan turis lainnya, kebanyakan dari manca negara seperti kami, menuju Palestina.


Setelah melewati pemeriksaan yang melelahkan, sekitar lima jam, oleh petugas pemerintah Israel yang muda-muda, kami bisa masuk Palestina. Kami tiba di Jericho, kota kecil yang sepi. Terlihat seorang muda Palestina menjinjing senapan laras panjang, melintas. Kami salat Ashar di sebuah masjid yang agaknya sudah menjadi langganan agen pariwisata. Lengang. Kota ini berada paling bawah, sekitar 400 m dari permukaan laut.


Kami lalu makan siang di Restoran Temptations yang mahalnya kelewat-lewat. Setelah kenyang, kami berbondong nginap di Hotel Victoria yang kelihatan kuno, dan penuh gendruwo. Arsitekturnya mengatakan itu.

O, betapa indahnya Palestina. Di waktu malam hari, kami yang berada di ketinggian, memandang ke bawah, persis di Puncak memandang Jakarta, kelap-kelip lampu berpijar-pijar, menghiasi seluruh lembah. Tampak Kiai Umar Budihargo yang memimpin robongan kami, berkaca-kaca ketika lelehan air matanya memantulkan sinar blits kamera Mas Fajri waktu berpotret-potretan. Malam gelap, memang. Kami bersikeras mengincar pemandangan yang kerlap-kerlip di lembah itu yang mudah-mudahan tertangkap kamera kami.


Persoalan Bangsa Palestina adalah persoalan kita. Bagaimana mungkin di milenium ketiga ini masih ada penjajahan. Banyak yang pesimistis bahwa Bangsa Palestina bisa mendapatkan kemerdekaannya dan memproklamasikan Republik Palestina menjadi negara berdaulat. Sebab, jika Republik Palestina diproklamasikan, pasti bangsa ini bebas berbelanja senjata dan tidak ada yang menghalang-halangi.


Itulah yang ditakutkan Israel. Pertarungan habis-habisan melawan Israel yakin terjadi dan bisa menggiring ke Perang Dunia III. Ada sebuah desa di Palestina, Armageddon namanya. Di desa inilah seluruh kekuatan dunia berkumpul untuk menyelenggarakan Perang Dunia III.


Adzan subuh mengantar kami berbondong ke Masjidil Aqsha. Udara yang cukup dingin, membuat kami menggigil. Waktu itu jamaah salat subuh tidak banyak. Seandainya habis salat lalu nyruput kopi dan makan bakso, o, alangkah lezatnya. Para jamaah setempat berpakaian tebal dan berkumpul menyatu. Kami sempat berpotret-potretan dengan takmir masjid di depan mihrab, yang tidak mungkin kami lakukan di mihrab Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, juga Masjid Istiqlal.


Selalu saja pemerintah Israel berusaha merobohkan Masjidil Aqsha dengan segala cara. Segala tipu daya. Mereka ingin membangun kuil Sulaiman untuk menggantikannya. Terus-menerus sepanjang abad.


Tak kenal adab. Mereka masih hidup di zaman azab. Ada saja alasan mereka untuk menimbulkan kerusakan masjid suci yang merupakan tiga serangkai dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Akibat dari ngototnya pemerintah Israel untuk memusnahkan Masjidil Aqsha, terus-menerus memicu perlawanan sampai titik darah penghabisan para pejuang Palestina. Rasanya perdamaian tidak akan pernah bisa tercapai jika Israel tidak mengakui hak-hak bangsa Palestina.


Pertempuran terus berlangsung. Seperti penumbuk padi di atas lesung. Beruntun tak henti mengapung. Luka menganga, luka bangsa yang agung. Peta telah dibikin bingung. Damai, tidak, damai, tidak, lakukan apa pun bagai detak jantung. Tanah keras, berbukit, kebun pisang, tenda prajurit, ditelan udara suwung.


Lepas makan siang, kembali kami berpotret-potretan dengan latar belakang lembah yang dipenuhi pohon cemara. Semarak anggun. Kami melihat ada upacara penguburan. Balutan suasana harumi. Napak tilas para rasul para nabi. Bau wangi kesturi pembawa kitab suci. Kami antri untuk masuk ke Masjid Batu Karang (Qubbat al-Sakhrah/Dome of the Rock) bersama turis manca negara lainnya.


Masjid itu tempat suci bagi umat Islam, Kristiani, dan Yahudi. Kami antri untuk masuk ke ruang kecil di bawah batu karang yang sangat besar. Batu karang ini mau ikut terbang bersama Kanjeng Rasul Muhammad SAW ketika mampir ke sini sewaktu mi'raj. Ada telapak kaki Rasulullah di satu sudut yang saya usap dengan sajadah.


Ada kebiasaan saya selalu mengusap tempat atau tapak tilas suci dengan sajadah saya. Saya berbelanja banyak sajadah, juga sorban, yang gunanya untuk mengusap-usap tempat-tempat itu. Ingin saya membawa debu lewat sajadah dan sorban saya itu ke rumah. Sajadah dan sorban itu juga saya basahi dengan air zam-zam.


Dengan mengusap debu di tilas suci itu rasanya saya melewati masa-masa purbani yang tak bisa dimengerti dan selalu tersembunyi dalam rahasia. Hidup barangkali sebuah ruang yang sesungguhnya tidak ada yang kita menganggap bisa merabanya. Apa yang dapat dipikirkan ketika memejamkan mata, hilang ketika membuka mata. Kita terus-menerus memusatkan pikiran supaya bisa meraba.


Di dalam ruang sempit di bawah batu karang itu kami salat dua rakaat di sudut tempat Rasulullah salat. Di sebelah ada sudut untuk umat Kristiani dan di sudut yang lain untuk umat Yahudi. Kami hadir di dalam kurun yang baru yang kami rasakan dengan takjub. Mengejutkan. Jarak antara para Kanjeng Rasul dengan kami menyatu. Satu ukuran. Satu umat.


Para rasul dicipta khusus dengan satu tugas saja sedang kita orang kebanyakan dapat dan boleh menjadi apa saja dan berubah-ubah. Inilah kelebihan masing-masing yang tak boleh ditawar. Jauh-jauh kami menapak tilas para orang suci, dapatkah debu itu benar-benar berhasil dibawa pulang. Sajadah atau sorban atau tasbih akhirnya menciptakan jarak yang tidak dikehendaki.


Ahim dan Nina mulai menangis karena lapar dan haus. Romo penghuni gereja yang sekilas pernah terlihat, tidak nampak lagi. Bu Betty menenangkan keduanya. Ada sejumlah turis dari Barat dan anak-anaknya juga terjebak bersama kami. Anak-anaknya juga mulai menangis. Kami penuh penyesalan kenapa tidak berbekal roti kering dan air mineral. Bu Betty dan Bu Wiwiek mulai berlelehan air mata.


Kami sudah bosan menyaksikan siaran langsung pertempuran lewat televisi yang disuguhkan oleh gereja ini. Kiai Umar, Pak Toha, dokter Iqbal, Mas Fajri, Nurrahman, saya dan pemandu kami serta beberapa turis Barat mengintip dari pintu yang barangkali saja dapat sedikit meli hat pertempuran antara para pejuang Palestina melawan tentara Israel.


Tiba-tiba muncul seorang gadis kecil berkerudung yang uluk salam, "Salamu 'alaikum." Kami pun menyahutnya dengan, "Waalaikum salam." Gadis itu, subhanallah, membawa teh panas, roti tawar dan madu untuk kami dan turis-turis Barat itu. Sebelum kami berkenalan, gadis cilik itu, sekitar 12 tahun, sudah pamit kembali ke belakang. Kami dan para turis Barat itu pun melahap roti yang bundar tipis yang kami guyur dengan madu sembari nyruput teh panas.


Setelah lima jam, setelah lapar dan haus, setelah merasa tidak ada pertolongan yang datang, berkah Allah muncul tak terduga. Seorang gadis kecil, seperti gadis-gadis kecil di Jogja atau Solo atau Jakarta dan Bandung, dapat menyelamatkan kami yang tidak tahu Barat dan Timur.


Kiai Umar, dokter Iqbal, Pak Toha, dan pemandu kami pergi ke belakang, mencari dapur, barangkali saja gadis kecil itu sedang duduk mencangkung. Dapur tidak ditemukan, juga gadis itu, tak ada. Kami lalu mencoba menemui pastor tapi tak ada seorang pun di belakang. Memang para turis dengan bebas keluar masuk di dalam gereja. Boleh dikata tidak ditemui seorang penjaga pun. Para turis yang datang langsung menuju sudut kecil tempat Rasul umat Kristiani itu dilahirkan.


Saya mengusapkan sajadah saya di tempat kelahiran Kanjeng Rasul Yesus Kristus yang ditengarai dengan lempengan bintang dua belas dan sebuah palung kecil tempat Rasul Allah itu dibaringkan setelah ibundanya kelelahan menyusuinya.


Dibanding umat Kristiani yang mengunjungi masjid, jauh lebih banyak umat Islam yang mengunjungi gereja-geraja. Pemandangan alam yang nyata. Memberi kesejukan pada mata. Kau kejar ke sana, jangan hanya raga. Kau kejar kemari, jangan hanya surga. Tuhan menyembunyikan semua. Supaya kita tidak rakus dan manja. Para rasul meminta kita, jadilah penanda.


Yerusalem milik kita bertiga. Jangan ada yang loba. Ketika kita menginjakkan kaki di tanah suci, ada debu kaki para rasul yang menempel di telapak kaki kita. Debu kaki siapakah ini. Siapa pun pemilik debu itu, itu debu sang suci yang telah menyadarkan bahwa kita hanyalah manusia.




Judul Cerpen: Gadis Kecil Melintas di Yerusalem
Pengarang: Danarto
Diterbitkan: Koran Republika, 02 Februari 2007

Ikan-ikan dari Laut Merah | Cerpen: Danarto

0


Pagi itu saya mengantar beberapa ekor ikan kepada Kanjeng Rasul Muhammad SAW. di rumahnya. Ikan-ikan yang saya jaring dari Laut Merah itu menjadi sumber penghidupan kami. Hidup bersama laut sebagai nelayan dengan keluarga ayah, ibu, dan dua saudara perempuan kami mencipta ikan-ikan seperti mainan yang dapat kita panggil sewaktu-waktu.

Ayah pernah bercerita bahwa para rasul dan para nabi boleh dikata tidak makan ikan, namun tidak mengurangi minat saya untuk mempersembahkan ikan yang barangkali saja satu saat dapat menerbitkan selera makan utusan Allah itu. Hidup sezaman dengan Kanjeng Rasul Muhammad rasanya seperti hidup di lingkungan yang tertata rapi dengan sendirinya. Dalam segala hal, kami umatnya, diayomi seperti bibit tanaman kecil yang dipeluk dalam dadanya dari badai gurun.

Beberapa ekor ikan yang saya persembahkan itu diterima sendiri oleh Kanjeng Rasul. Waktu itu hari telah beranjak siang, beliau sedang menjamu makan beberapa orang tamu. Kesibukannya sehari-hari tak mengurangi minatnya untuk menemui siapa saja yang ingin menemui beliau, termasuk anak nelayan yang belum lima belas tahun ini. Beliau menatap sejenak ikan-ikan itu sambil mengucapkan terimakasih dan menjinjingnya masuk ke rumah. Ketika saya beranjak pergi, Kanjeng Rasul menemui saya di belakang rumahnya dengan memberikan dua ekor kambing jantan dan betina. Ketika saya ragu-ragu untuk menerimanya, beliau mengatakan supaya saya memelihara kambing-kambing itu dengan baik.

Ayah dan ibu penuh tanda tanya memandangi kambing-kambing itu. Sedang kedua saudara perempuan saya senang sekali menerima binatang-binatang itu. "Kamu jangan mengganggu Kanjeng Rasul dengan ikan-ikanmu itu," kata ayah. "Sudahlah," kata ibu. "Kamu tak perlu mengirim ikan lagi kepada beliau." Sebaliknya kedua saudara perempuan saya mengatakan," Kenapa tidak? Kanjeng Rasul tentu senang menerima ikan-ikan itu yang jarang menjadi lauk makannya."

"Kalian sok tahu," tukas ibu. Di laut lepas, Laut Merah, ayah dan saya terapung dalam perahu yang tenang. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan ikan-ikan segar yang kami jaring. Binatang tangkapan itu rasanya dicurahkan dari laut ke dalam perahu kami. Begitu mudah. Apakah ini berkah Rasul? Tidak berapa lama, perahu kami penuh. Tumpukan ikan-ikan itu bagai harta karun terkena sinar matahari. Rasanya kami habis menguras dari dasar laut. Sebelum kembali ke darat, kami beristirahat sambil menikmati roti dengan lauk ikan bakar bekal kami. Ayah menenggak air dari kantung kulit kambing lalu tertidur dengan atap jerami yang melindungi dari terik matahari. Menjelang sore, ketika warna jingga menghiasi langit yang dipancarkan matahari, kami mendarat kembali.

Dalam tujuh hari, kami mengambil satu hari untuk beristirahat dari melaut. Ini kesempatan yang baik buat bermain dengan kambing pemberian Kanjeng Rasul. Kedua saudara perempuan saya cukup senang menggembalakan kambing-kambing itu di padang rumput di dekat oase. "Apa kamu senang bermain di sini?" katanya pada seekor di antaranya. "Rumputnya cukup lezat, kan?" kata yang seorang pada seekor yang lain. Keduanya memperoleh kegembiraan seperti mendapatkan hadiah mainan.

Di tepi oase yang ramai dikunjungi kafilah dari berbagai kawasan itu, juga dari negeri-negeri jauh, saya jatuh teridur dibuai angin sejuk pegunungan. Saya bermimpi. Saya bertemu Kanjeng Rasul di tepi pantai Laut Merah. Beliau mencomot rembulan dan mencelupkannya di Laut Merah seketika air laut itu bergelombang.

Saya terbangun karena pundak saya diendus seekor kambing mainan kedua saudara perempuan saya itu. Keduanya tertawa melihat saya yang kaget bangun. "Rupanya kambing itu sudah mulai ramah denganmu," kata seorang di antaranya. "Bukan begitu," kata adiknya."Kambing itu mengendus semak yang teronggok dengan dengkur yang aneh." Keduanya tertawa sambil menghalau kambing itu dari sisi saya.



Ketika saya berwudu untuk salat ashar dengan air oase itu, seseorang menghampiri saya dalam sosok yang membayang dalam air oase. Saya menoleh ke belakang namun tidak ada seorang pun. Saya salat berjamaah dengan sejumlah orang tua yang datang dari negeri jauh, sosok yang membayang itu rasanya ikut bermakmum di belakang saya. Begitu selesai salat, saya cepat-cepat menoleh ke belakang namun tak seorang pun tampak. Angin sejuk berembus. Matahari boleh jadi mau memberi tahu siapa itu sosok yang saya rasakan kehadirannya itu. Tapi entahlah. Dari jauh pada udara tak terjangkau, bergetar fatamorgana, mendendangkan air yang tak tersentuh. Kedua saudara perempuan saya berenang di dalam lautan pasir, meraba-raba batas udara.


Di rumah, kedua adik perempuan saya bercerita kepada ayah dan ibu dengan ramai tentang kambing-kambing yang digembalakannya. Binatang itu telah menjadi bagian keluarga kami yang penting. Ketika ibu bertanya, apa pengalaman saya bergaul dengan rombongan kafilah itu yang beristirahat di oase itu, saya ceritakan bahwa mereka walau tampak tua-tua namun kokoh dalam mengarungi padang pasir. Ketika saya tanyakan, apakah saya boleh mengembara bersama kafilah itu, satu saat nanti, ayah bilang boleh-boleh saja. Namun seorang nelayan adalah tetap seorang nelayan. Ia tak pergi jauh dari laut.

Kanjeng Rasul Muhammad SAW boleh dikata tak mengunjungi laut. Atau tidak beristirahat di tepi pantai. Beliau sibuk melayani umat dan harus beredar di antara umat di darat yang jauh dari laut. Beliau malah sering keluar masuk pasar untuk berbicara dan memberi hikmat kepada siapa pun yang beliau temui. Saya sering mengikuti beliau berdakwah di antara umat yang berbondong-bondong. Saya mendengarkan beliau berbicara kepada khalayak yang duduk atau berdiri. Saya sering bersama ayah, ibu, dan adik-adik, mengikuti beliau berdakwah ke mana saja. Sampai jauh dari rumah kami. Jika lelah, kami beristirahat dan menikmati bekal yang kami bawa dengan lauk ikan bakar. Ada satu hikmat yang saya pegang dari beliau bahwa seorang anak wajib berbakti kepada ayah dan ibunya.

Dalam keadaan Laut Merah yang bergolak, ayah tertidur pulas karena udara panas dan kelelahan, melompatlah seekor ikan besar ke dalam perahu kami. Saya kaget banget. Panjangnya dua lengan ayah yang terentang dan beratnya seberat tubuh saya, ikan itu berkata-kata kepada saya.

"Persembahkan saya kepada Kanjeng Rasul," kata ikan itu. "Bagaimana mungkin?" jawab saya.

"Kamu pernah mempersembahkan beberapa ikan kecil kepada beliau."

"Kok kamu tahu."

"Persembahkan saya."

"Bagaimana mungkin saya mampu membopongmu. Kamu begitu berat dan jarak rumah saya dengan rumah Kanjeng Rasul cukup jauh."

"Ayolah. Tolonglah saya."

"Untuk apa kamu kepingin banget dipersembahkan kepada Kanjeng Rasul?"

"Supaya Kanjeng Rasul berkenan menyentuh tubuh saya."

"Untuk apa sentuhan tangan Kanjeng Rasul?"

"Supaya saya bisa masuk surga."

"Seandainya kamu seberat biji korma."

"Keledai bisa memanggul tubuhku."

"Tidak ada keledai yang gratis."

"Carilah saudagar kaya yang dermawan yang mau meminjamkan keledainya."

"Banyak saudagar kaya yang dermawan namun tak punya keledai."

"Tanyalah keledai secara langsung dan mintai tolong dia."

"Banyak keledai yang bisa dimintai tolong tapi mereka takut kepada tuannya."

"Carilah keledai yang ringan hati yang tak takut kepada tuannya."

"Banyak keledai yang ringan hati namun tak mau memanggul ikan. Alasannya: amis."

"Carilah penjual parfum yang dermawan yang mau menyemprotkan minyak wanginya ke tubuh ikan."

Dengan berkah Allah, akhirnya, setelah beberapa hari berburu ke beberapa penjuru padang, saya temukan seekor keledai liar. Ia mau memanggul ikan gede yang berat banget itu dan bau amis. Alasan keledai itu adalah ia kepingin juga tubuhnya disentuh Kanjeng Rasul. Saya sengaja bertolak dari rumah malam hari. Supaya tak diketahui ayah, ibu, dan adik-adik, saya pamit mau ke rumah teman.

Dengan sekuat tenaga, ikan gede itu saya gusur ke punggung keledai yang sengaja berbaring di tanah. Ikan itu lalu saya ikat ke tubuh keledai. Pelan dan tidak goyah, saya tuntun keledai itu berjalan. Melewati kawasan yang gelap dan terjal, keledai itu tersandung, namun, alhamdulillah, tidak jatuh. Keledai dan ikan itu tidak mengeluh. Rasanya keduanya akan menemui peristiwa yang paling menyenangkan dalam hidup.

Di rumahnya, Kanjeng Rasul sudah menunggu lama kami di pekarangan. Beliau menerima persembahan ikan gede itu. Mula-mula ikan itu dielus-elus. Air mata ikan itu berderai dan mulutnya tak mampu berkata-kata. Beliau membopong ikan itu ke dalam rumahnya. Lalu beliau keluar rumah lagi. Beliau lalu mengelus-elus keledai itu dan bercucuranlah air mata hewan berkaki empat itu. Begitu dielus-elus tubuhnya oleh Kanjeng Rasul, keledai itu lalu mati.

Saya pulang membawa hadiah lima ekor sapi. Hadiah yang besar. Saya mencium tangan Kanjeng Rasul dan saya minta beliau mengelus-elus kepala saya. Komplet rasanya warna-warni peristiwa yang saya alami hari itu. Pagi harinya, saya kena marah ayah dan ibu. Namun adik-adik membela saya.



Tangerang, 1 Juni 2006


Judul Cerpen     : Ikan-ikan dari Laut Merah
Pengarang         : Danarto
Terbit awal        :
Judul Buku       : Kacapiring

Jantung Hati | Cerpen: Danarto

0


Anak laki-laki itu berlari kencang meninggalkan pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Udara sangat panas. Angin kencang. Angin berdebu. Keringat kota diperas habis-habisan. Matahari terbahak. Pelabuhan menjerit. Orang-orang pura-pura tak mendengar. Orang-orang tak mau tahu. Orang-orang sibuk dengan tas belanjaannya sendiri-sendiri. Ini Metropolis, Bung! Sejak kapan para sopir angkot itu mendahului para arsitek dengan berteriak, "Ini Metropolis, Bung!" Mengurusi diri-sendiri saja hampir-hampir tak becus, bagaimana mungkin harus menanggulangi kebutuhan orang lain. Kerjakan yang mesti dikerjakan. Tinggalkan yang mesti ditinggalkan. Seperti anak laki-laki 10 tahun yang terus berlari itu. Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Ia sedang diburu kebutuhannya sendiri. Ia tak mendapatkan bus atau angkot, ia terus berlari. Ia tak peduli. Ia menuju ke arah selatan. Barangkali ke Jakarta Pusat.


Alangkah kencang larinya. Apa ia tak punya pusar? Hanya orang-orang yang tak punya pusar bisa berlari sekencang itu. Tak lelah-lelahnya. Ia menyeberang di antara lalu-lintas yang padat. Ia berzigzag di antara kendaraan-kendaraan yang menunggu lampu hijau. Ia menerobos di antara bus, angkot, mikrolet, kopaja, yang macet. Orang-orang menengok kepadanya yang cepat menghilang terhalang di antara pintu dan jendela Bianglala. Mereka saling bertanya. Ada apa anak itu berlari terus, seperti ada sesuatu yang ingin ia temui. Atau kabarkan. Sesuatu apa itu. Tapi setiap pertanyaan belum terjawab, selalu muncul pertanyaan baru. Anak itu agaknya merebut waktu. Merebut tempat. Merebut kesempatan sebelum segalanya terlambat.


"Ibu! Ibu!" teriak anak laki-laki itu menyebut ibunya. "Ibu! Ibu! Jangan menari lagi!" ia meminta ibunya untuk tidak menari lagi. O, jadi rupanya ibunya seorang penari. Tapi di mana ibunya? Mengapa ia berteriak-teriak? Apa ibunya mendengar teriakannya? Mengapa ia melarang ibunya menari lagi? Memangnya kenapa kalau ibunya tetap menari? Anak 10 tahun ini boleh jadi anak yang aneh. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menanyainya kenapa ia berlari, barangkali orang-orang itu bisa menolongnya jika ia butuh pertolongan namun anak itu acuh tak acuh dan terus berlari. "Ada apa, Nak? Ada apa, Nak? Ngapain lo lari terus? He, lo, dikejar setan, lo?!"


Semrawut kota semakin bising. Suasana mendesing bunyi gasing. Kepala berputar kerna pusing. Di jalan-jalan Jakarta tak ada tempat untuk kencing. Dihardik satpam jadi emping, bagai Jacky Chan melenting. Semua pertanyaan lompat bajing, mencari kekal pada dinding. Lonceng kota berdentang dua kali, mengucap salam pada metromini. Lamat-lamat ditelan mall yang bernyanyi. Seolah metropol miliknya sendiri. Hitam kayak pantat kuali. Legam persis malam mati. Lari! Lari! Tekuk dan telan kota, atau kota ditekuk dan ditelan orang lain. Jangan ketinggalan. Jangan pernah mau mengalah. Jangan pernah kalah. Tempeleng orang lain sebelum ditempeleng orang lain. Jakarta sudah lama bilang ogah. Tidak seramah abah dan babah semasa zaman misai jepaprah.


"Ibu jangan menari lagi!" teriaknya sepanjang jalan raya itu.


Orang-orang yang berpapasan mendesah. "Ini anak apa maunya?!" Orang-orang melengos. Seperti bandit yang dibiarkan lolos. Matahari membantu tapi butuh ongkos. Ada saja yang kejeblos di pasir boblos. Di sekolah anak tak pernah bolos. Ia ingin lolos dari angka-angka tidak polos. Seluruh hamba wet, seluruh penghuni hotel prodeo adu jotos. Saling gertak narkoba oplos. Anak itu melompat pagar tanaman. Supaya jarak lari menjadi aman. Cepat ketemu ibu dirundung sawan. Jangan-jangan sedang menari bersama awan.


Anak ini cerdik bagai jengkerik. Mau dicaplok katak, ia mendelik. Sotangnya tajam bagai taring kirik. Tak peduli pada aspal jalan yang panas, telapak kaki tanpa alas. Tak kenal batas. Aduh, anak itu tahan menceker. Kemana sandal jepitnya tadi di emper. Berlari chitah menerkam kijang tercecer. Di ladang luber. Padang darah berember-ember. Aduh, Eyang, otak cucu belum juga encer. Mencari hidup layak seperti pesan bapak. Walau di lapak, mabuk tetap tegak. KTP diinjak-injak, kadaluwarsa dari sepihak. O, aparat James Bond terbahak. Berlari terus, Anakku. Berlari terus, Anakku. Jangan menoleh ke belakang. Hanya lumpur panas dan kalajengking di bawah keset. Jangan terpeleset. Hidup bisa dicicil angket. Muntahkan segala pikiran kotormu. Jeritkan segala raung serigalamu.


Ibunya sedang menari di atas jembatan layang. Seonggok jalan layang ke Universitas Indonesia gemilang. Di bawah jalan layang, bertengger gubuk derita malang. Tiga kali kena gusur, termasuk jalur hijau jalang. O, orang yang matanya nyalang. O, Henry Muhammad, agung bagai baja, menghirup angin surga. Pesanlah nisan sekarang, supaya hati tak garang; begitu pemerintah kasih wejangan. Pasrah tanpa curang. Tak pula timpang. Tiba-tiba kesandung maut dari seberang. Tak mati-mati. Tak mati-mati. Apa mau dikata. Nasib orang, Tuhan yang pegang. Lalu kena sabetan keris yang ditempa padepokan Ganggang. Ia musnah. Jasadnya lenyap ditelan udara. Bukan ratu, bukan raja, bukan pula keris patih. Ia keris empu, cucunya cucunya cucunya cucu Empu Gandring.


Ia diangkat Allah ke firdaus ketujuh. Perahu malaikat burung puyuh. Tak ada tempat yang jauh. Dalam sehari 50.000 tahun mengayuh. O, Tuhan kendali manusia. O, Tuhan sayang manusia. O, Tuhan tempeleng manusia. Tinggallah putri bersama anak semata wayang. Kedua orang bertahan di bawah jembatan layang, tanah asli ayah bayang. Penari agung bikin keder pemda, putri jelita berbanding Sembadra. Si anak ksatria utara, badai derita kota. Ia anak mama. Baik budi, berbakti, dan pertapa sejati. Ksatria Utara tak mau berkelahi. Ia terlalu sakti. Ia hindar bertengkar kerna pintar. Namanya bikin gentar.


Setiap mahasiswa melaju mobilnya ke universitas, mencium bau wangi. Wangi jembatan layang. Itu udara pagi. Itu udara wengi. Lalu berpijar cahaya api. Nyawa yang berbakti. Ibu Pertiwi mengerti. Udara, api, tanah, air, zat, hitungan akurat. Mengambang taat. Mengalir angkasa pesat. Segala tempat. Butiran menjelma hujan. Tumbuh harapan. Dipuja petani. Kemana tanahku. Kemana tanahku. Dengarkan mahasiswa sedang berjuang. Menggaris lurus menerka keadilan. Tanah di bawah jambatan layang UI diberi julukan "O Henry Rudini", kenangan manis buat Mendagri dan Henry yang tertindas. Namun tak beringas. Ia ksatria tuntas. Berbanding Pandawa pantas. Seluruh menteri melankolis menatap Henry. Alasan Henry minta ganti rugi mahal kerna tiga kali dibohongi. Tiga kali tanah dibeli di berbagai tempat jeli selalu kena jalur hijau pasti.


"Ibu! Ibu!" teriak anak lelaki itu dari bawah jembatan layang UI menatap ibunya yang sedang menari di atas pagar jembatan layang. Di dalam kendaraan-kendaraan pribadi di sela lalu-lintas yang selalu padat itu, para mahasiswa melongok-longok lewat jendela mobilnya. Mereka saling bertanya.


"Ibu jangan menari!" sambung anak itu. "Dua puluh tiga ekor ikan paus menyeret gunung es. Datang dari kutub utara, mereka sudah sampai Pulau Seribu."


Namun Valeria Daniel dari antv di atas helikopter melaporkan pandangan mata: "Jakarta tenggelam dilanda banjir bandang. Berpuluh ikan paus mengunyah gunung es yang mereka seret dari kutub utara. Laut meluap. Mobil-mobil tinggal atapnya yang muncul. Bagai papan-papan selancar, puluhan, ratusan mobil mengambang. Jakarta musnah!"


Keadaan darurat nasional gubernur umumkan. Pasukan antihuru-hara diterjunkan. Di seluruh kawasan. Di pojok-pojok Jakarta rawan. Tanggulangi penjarahan dan perampokan. Korban banjir antara yang hidup dengan yang mati, mengambang dan tenggelam maupun berenang di dataran luas yang dalam. Para relawan penolong bertindak. Dibutuhkan perahu karet mendadak. Dalam jumlah besar membengkak.


Helikopter menyigi rendah. Tenaga-tenaga penolong susah. Saking banyaknya korban entah. Daerah Khusus Ibukota payah. Banyak individualis jengah. Dengan sangat meminta para politisi dan wartawan tidak memolitisir musibah "Jakarta Meratap" dengan "pemerintah ditolak alam".


"Itu klenik!" seru jubir pemerintah dalam menanggapi pernyataan bahwa pemerintah dimusuhi alam.


Selama ini pemda DKI meyakini bahwa penari jembatan layang UI itu kong kali kong dengan ikan-ikan paus yang segede-gede kapal destroyer dari kutub utara. Berkali-kali banjir besar melanda Jakarta, berkali-kali penari itu diburu, namun dia selalu lenyap tak berbekas. Nah, sikap ini kentara sekali, ternyata pemerintah sendiri sangat doyan klenik. Sebagai ahli waris Henry atas sepetak tanah di bawah jembatan layang UI, dia terus menuntut ganti rugi yang layak. Andai dulu pemda di zaman Orba tidak pelit dan mau membayar ganti rugi satu miliar rupiah, tentu jumlah itu saat ini, di milenium ketiga, tak ada artinya. Tapi itulah jalan hidup. Pemerintah yang dulu, sampai kini tentu semakin dirundung dosa yang kelewat-lewat.


Jakarta tenggelam. Kota gelap gulita. Di siang hari jadi kota mati. Perampokan bersimaharajalela. Supermarket, mall-mall, toko-toko, pasar, ATM, restoran, bank-bank, kantor-kantor, departemen keuangan, perumahan mewah, pegadaian, dan seluruh tempat yang menyimpan duit atau pangan, menjadi sasaran penjahat maupun orang baik-baik. Banjir rasanya semakin meninggi. Korban tak dapat dihitung. Bagai monumen, gunung es yang bercokol di utara Pulau Seribu itu dikitari puluhan ekor ikan paus yang berloncatan ke udara ganti-berganti. Mereka dengan gigih menabrak-nabrakkan tubuhnya ke arah gunung es itu yang agaknya untuk secepatnya mencairkannya guna memandikan Jakarta. Satu pasukan khusus diterjunkan dari helikopter di atas jembatan layang UI dan di Pulau Seribu untuk menangkap sang penari dan membunuh ikan-ikan paus itu. Namun penari cantik dan ikan-ikan paus itu tidak peduli. Dia dan ikan-ikan paus itu terus menari. Dan alam sangat membantunya. Angin kencang menyapu pasukan khusus berikut helikopternya sehingga mau tak mau mereka harus menjauh dari penari dan ikan-ikan paus itu.


Gelombang menggempur Tanjung Priok, Gunung Sahari, Senen, Cikini, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Blok M, Cilandak, Cinere, Parung, dan melahap terus ke selatan. Kali Deres berteriak-teriak meminta tolong. Kampung Rambutan memahami musibah itu. Mall-mall dipenuhi para pengungsi. Orang-orang kaya mengungsi ke hotel-hotel. Hotel Sari Pasifik di Jalan Thamrin yang dibangun dengan pondasi yang tinggi, paling laris karena agaknya dibangun untuk mengantisipasi banjir bandang itu. Tapi segala jenis hotel penuh. Keluarga terpisah dengan keluarga lainnya. Sanak terpental dari sanak. Ibu dari anak. Suami dari istri. Paman dari keponakan. Kakek dari nenek. Cucu dari buyut. Canggah dari wareng. Kekasih dari asmara. Benci dari cinta. Cemburu dari buta. Melek dari kantuk. Bola dari Piala Dunia.


"Ibu stop menari! Ibu stop menari!" teriak anak itu terus-menerus dari bawah jembatan layang itu.

Sang penari tidak menstop tariannya. Beberapa orang mahasiswa memarkir kendaraannya di jembatan layang itu untuk melihat penari itu tetap gemulai dengan gerakannya. Sejumlah sniper membidik penari dan ikan-ikan paus itu dari kejauhan. Namun alam tetap membela penari dan ikan-ikan paus itu. Para sniper itu dibuat kelilipan matanya sehingga membatalkan bidikannya. Hari balas dendam telah terjadi. Anak itu terus melanjutkan teriakannya. Ibu itu terus melanjutkan tariannya. ***



Tangerang, 20 Mei 2006


Judul Cerpen    : Jantung Hati
Pengarang       : Danarto
Terbit awal     :
Judul Buku      : Kacapiring

Kacapiring | Cerpen: Danarto

0


RUMAH sakit ini rasanya menebarkan arus kematian. Terasa pada tengkuk dan telapak tangan yang dingin. Lorong-lorong yang lengang mengantarkan kereta jenazah yang bergulir sendirian. Bau obat pengepel lantai yang menelan nasi bungkus pada kemasan air minum yang kempis. Barangkali di ranjang sebelah seorang pasien sedang bergulat memperebutkan nyawanya dengan Malaikat Izrail.


Ketika adzan subuh terdengar, saya masih malas bangun dalam tidur duduk dengan kepala terkulai di ranjang Astri, anak saya yang berumur 12 tahun. Astri telah tiga hari pingsan, belum juga ada tanda-tanda mau siuman. Para dokter tidak tahu kenapa lama sekali Astri pingsan.Anak-anak yang sehat, energetik, dan periang, yang mewarisi watak saya yang selalu dalam keadaan senang, sebenarnya tidak mungkin begitu mudah jatuh pingsan. Dunia memang penuh penderitaan, tetapi lupakanlah itu dan rebutlah kegembiraan hidup untuk selama-lamanya. Itulah yang pokok, saya pikir, yang saya ajarkan kepada anak-anak dalam mengarungi hidup sehari-hari. Saya ajak mereka menyanyi, menari, dan berdoa, dan kelima anak saya itu - Astri (12), Ajeng (10), Antok (8), Agra (6), dan Ayu (4) - pun menari, menyanyi, dan berdoa. Anak-anak yang baik adalah jendela dengan kaca yang jernih. Kami adalah keluarga yang tidak bersedih. Jika mau bersedih, kita tidak akan sempat bersedih karena hidup kita ini adalah kesedihan.


Kami bertujuh hidup dalam kebahagiaan dalam arti yang sempit maupun yang luas. Selalu bertemu setiap hari, dalam waktu yang sempit maupun waktu yang longgar. Kami berbelanja beramai-ramai ke Hero atau Carrefour. Kami makan di Sizzler atau di Lembur Kuring. Kami keluarga yang sibuk sehingga membutuhkan tiga sopir, paling tidak, satu untuk anak-anak, satu untuk istri, dan satu untuk saya, sepertinya kami masing-masing sudah bisa mandiri.


Seminggu sekali kami mengitari toko buku selama tiga jam untuk memborong buku dan DVD apa saja yang mendatangkan kesenangan. Kami juga nonton di gedung bioskop dan gedung kesenian, juga di gedung-gedung kebudayaan kedutaan besar. Kami mengisi teka-teki silang dari Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, maupun Republika, sambil menikmati pizza atau hamburger dan es teler. Kami juga pura-pura tahu tentang gerakan reformasi yang melanda di seluruh Tanah Air.


Itulah sebabnya kami merasa digoncang gempa bumi ketika mobil kami ngebut melarikan Astri ke rumah sakit. Menderu dan melakukan zig-zag. Masih dalam keadaan pingsan, Astri saya peluk erat-erat. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Astri yang menjerit dan jus mentimun yang mestinya ia berikan kepada Mamanya, jatuh ke lantai dengan bunyi gelas yang pecah berderai. Saya berlari ke arah jeritan Astri dan mendapatkannya terkapar. Saya berteriak memanggil sopir dan membopong Astri ke dalam mobil. Di sisinya, Ajeng dan Antok, adik-adik Astri, gemetar dan menangis memegangi kaki dan tangan kakaknya. Apakah Astri tadi terpeleset atau dia kena serangan jantung? Yang saya heran, ibunya anak-anak tidak memberikan reaksi sedikit pun dan tetap berada di dalam kamarnya. Bahkan sekadar menjenguk pun tidak.


"Karena kaget, siapa pun bisa pingsan," kata dokter setelah memeriksa Astri beberapa saat yang membuat kami lega.

"Bagaimana dengan jantungnya, Dok?" tanya saya.

"Sehat," jawab dokter, "Nanti kalau sudah siuman, Astri bisa dibawa pulang."


Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter yang kemudian berlalu meninggalkan Astri yang menggeletak di ranjang. Sambil memegangi tangan Astri, saya bengong menatap Ajeng dan Antok yang cemas ketika tiba-tiba hand-phone berdering.


"Agra dan Ayu nangis memanggil-manggil Ibu, Pak!" teriak pembantu dari rumah sambil menangis.

Saya kaget lalu berteriak, "Bilang sama Agra dan Ayu jangan kolokan. Bawa keduanya ke mamanya."

"Pintu kamar Ibu digedor-gedor Agra dan Ayu, tetapi enggak ada sahutan, Pak," teriak pembantu dari rumah.

"Dobrak pintunya."

"Enggak berani, Pak."

"Dobrak!"

"Enggak berani, Pak."

"Suruh Totok mendobrak."

"Totok enggak berani, Pak."

"Mana Totok, saya mau bicara."

"Ya, Pak," sahut Totok, sopir anak-anak, yang agaknya berada di samping pembantu.

"Tok! Kamu dobrak pintu kamar Ibu."

"Mohon maaf, Pak. Saya tidak berani."


MULA-mula Laksmi, mamanya anak-anak, memberi tahu kami bahwa dia membutuhkan kamar sendiri. Saya pikir dia mau menggunakan kamar yang sudah ada. Ternyata dia membangun kamar baru di sebelah perpustakaan. Bagi kami-saya dan anak-anak- tak menjadi soal amat. Kami semua sangat mencintainya. Bahkan anak-anak sanggup menunggunya sampai pukul 9 malam untuk bisa makan bareng dengan mamanya.


Sebagai seorang ibu yang perfeksionis bagi anak-anaknya, dia mengatur seluruh kehidupan sehari-hari kami dengan seluruh segi-seginya, begitu cermat dan cekatan. Dari jus apel-tomat-wortel yang wajib kami minum setiap hari, dari hobi sampai jenis permainan, dan dari olahraga sampai piknik kami setiap empat bulan sekali, anak-anak dan saya, terima beres. Dari sini dia mendapat imbalan yang elok dari langit: anak-anak dan suaminya tumbuh sehat dan mendatangkan kebahagiaan.


Dengan kamar barunya itu, Laksmi keluar-masuk kamarnya dengan kunci di tangan. Tentang sikapnya ini, saya pernah secara sambil lalu bertanya kepadanya, "Ada rahasia apa, kok pakai dikunci segala." Dia hanya menjawab dengan senyum. Meski tetap ramah dan murah senyum sambil menyanyi dan menari, tetapi kami, keluarga dekat dan teman-temannya, tak boleh menjenguk kamarnya. Pernah Ayu yang berumur empat tahun, bungsu kami, menangis sejadi-jadinya karena mau ikut, tetapi tetap tak diizinkan masuk ke kamarnya. Laksmi tak peduli Ayu menangis seharian di depan pintu kamarnya. Dari peristiwa ini saya mulai merasakan Laksmi ingin mengucilkan diri.


Laksmi yang kutu buku dan mengenal dengan baik seluruh restoran di Jakarta, jauh lebih keras bekerja daripada saya meski saya sering pulang larut malam. Tidak pernah mengeluh. Selalu tersenyum lebih dulu bahkan dari para tetangganya yang jauh lebih ramah sekalipun. Kesukaannya memasak dan membagikannya kepada satu dua tetangganya meski hanya beberapa potong lumpia, dicatat sebagai sifat keramahtamahannya. Ketika membangun kamar pribadinya itu usianya tiga puluh tahun dan sedang ayu-ayunya.


Di kamar Astri, sekarang berkumpul separuh keluarga. Air mata saya terus berlelehan. Ajeng dan Antok menangis sambil memeluk kaki Astri yang terkulai seperti mati. Beberapa dokter hilir-mudik memeriksa Astri lagi. Mereka berdiskusi secara bisik-bisik dan tidak memberi keterangan apa-apa kepada saya. Karena tak tahan menunggu lalu saya bertanya kepada dokter pertama yang memeriksa Astri. Tetapi, dokter itu memberi isyarat supaya saya bersabar.


Seorang dokter lain menyarankan supaya saya memeriksa kamar-kamar di rumah. Lalu saya menelepon Eyang Putri Niniek, neneknya anak-anak, ibu Laksmi, yang sering meluangkan waktu bermain dengan cucu-cucunya.


"Sebelum ke rumah sakit, Ibu mampir dan mohon periksa seluruh kamar dan pojok rumah," desak saya.

"Istrimu ke mana?" tanya Nenek.

"Itulah..."

"Itulah apa?"

"Tak tahu ke mana."

“Kamu bertengkar dengannya?"

"Tidak."

"Ayolah, kamu bertengkar."

"Sungguh tidak, Bu."

Akhirnya Ajeng dan Antok tertidur di tepi-tepi ranjang Astri. Saya merenung tentang hal-hal kecil yang mungkin sekali terlewatkan dalam urusan rumah tangga. Beberapa orang keluarga dan teman-teman sekelas Astri di SLTP berdatangan menjenguk. Kami mengobrol di kamar keluarga di sebelah kamar perawatan Astri. Teman-temannya menciumi kening dan pipi Astri yang pingsan pulas. Mereka menanyakan mamanya anak-anak. Saya jawab, Laksmi sedang bepergian keluar kota yang tak bisa dihubungi.


Telepon genggam berciluit. Rupanya dari nenek yang lalu nerocos. "Laksmi bilang belum bisa menjenguk ke rumah sakit. Dia tak mau membuka pintu kamarnya."

"Cobalah Ibu minta dia menelepon saya."

"Sudah saya suruh, tetapi dia tidak mau."

"Dia omong apa saja?"

"Dia tak omong apa-apa."

“Ibu merahasiakan omongan dia, ya?"

"Buat apa?"

"Jadi Ibu cuma mendengar suaranya dari dalam kamarnya?"

"Ya."

"Aneh."

"Apa?"

"Aneh, Laksmi tidak mau ketemu Ibu."

"Apa kamu memarahinya?"

"Tidak pernah."

"Ada apa sebenarnya?"

"Saya tidak tahu."

"Kamu suaminya kok enggak tahu."

"Benar, Bu."


SEORANG dokter masuk memeriksa Astri. Tiba-tiba Astri berteriak, "Mama!" lalu dia terkulai kembali, diam, pingsan lagi.


 Melihat gejala itu kemudian beberapa dokter dan jururawat berdatangan. Astri lalu diperiksa oleh tiga orang dokter. Lalu para dokter itu memberitahu bahwa tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan.


Akhirnya Astri siuman dalam keadaan sehat-walafiat. Seorang kiai dan beberapa orang jamaahnya yang mengaji sepanjang malam di sisi tempat tidurnya, berhasil membangunkannya. Subuh itu Astri terduduk kaget dan berteriak-teriak memanggil ibunya, "Mama! Mama!" lalu turun dari tempat tidur menghambur ke pelukan saya sambil menangis sejadi-jadinya.


Lalu kami meninggalkan rumah sakit beramai-ramai seperti mau menyambut pesta. Kami tidak pulang ke rumah. Kami pulang ke rumah Nenek. Kami menyelenggarakan selamatan untuk Astri. Mirip reuni keluarga, saudara-saudara dekat dan jauh berdatangan. Juga teman-teman Astri di sekolah. Selamatan berlangsung dalam doa yang dipimpin oleh kiai dari kelompok pengajian kami. Malam yang khusyuk. Malam yang berbeda. Malam yang menjadikan kami memperoleh keyakinan kembali. Sampan yang menjauh ke tengah danau, telah kembali merapat ke tepi. Angin malam yang berembus pelan, mengusir malam yang panas menyuruh dapur menghidangkan makanan yang lezat-lezat.


Tak terduga, anak-anak senang tinggal di rumah neneknya. Begitu pula Eyang Niniek yang setelah ditinggal lima tahun oleh Eyang Sadewa, suaminya, merasa mendapatkan hidupnya kembali dengan kehadiran cucu-cucunya di rumah. Tentu ada yang hilang. Laksmi tidak kelihatan. Dia tidak ditemui di rumah atau di rumah teman-temannya. Saudara-saudara kami di Bandung, Yogya, Solo, dan Surabaya, juga tidak disinggahi Laksmi selama dua tiga bulan belakangan ini. Saya katakan kepada anak-anak kenapa kita belum dapat menemui mamanya karena mamanya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang harus tepat waktu karena ditunggu pemesannya. Untung Ayu, si bungsu, tidak meronta-ronta.


Pada waktu malam cerah penuh bintang ketika Astri sudah berada di dalam keadaan yang ceria, di taman belakang rumah Eyang, di tepi kolam ikan koi, diam-diam saya coba desak dia bercerita tentang peristiwa sore itu ketika dia terjatuh waktu mengantarkan jus mentimun untuk mamanya. Astri mengingat sejenak lalu bercerita.


"Ada kereta api lewat, kencang sekali, berderak-derak, angin menderu, Mama dari atas kereta menyambar gelas jus itu, meminumnya lalu melemparkan gelasnya. Astri terempas, terguling ke samping, lalu mendengar teriakan Mama yang semakin menjauh, 'Mama cuma beli tiket sekali jalan.'"


Seperti tersadarkan, mendengar cerita Astri ini saya tersentak dari duduk, menggayut tangan Astri dan mengajaknya buru-buru menengok rumah.


Ajeng, Antok, Agra, Ayu, dan Eyang Niniek saya bawa serta. Sopir saya perintahkan ngebut. Saya mendengar suara Laksmi yang menjauh, "Mama cuma beli tiket sekali jalan.


"Bisakah saya mengejar suara itu. Melayang sobekan kain dari empasan angin kereta api, menderu menyibak tanaman, geliat rel pada tikungan, dengan peluitnya yang panjang, kereta itu lenyap ditelan cakrawala.


Sesampai di rumah, para pembantu kaget menyambut kami. Saya dobrak pintu kamar Laksmi dengan linggis. Kami beramai-ramai memasukinya. Ternyata kamar itu kosong-melompong. Tak ada sepotong pun perabotan. Hanya karpet yang memenuhi kamar dengan bau harum pewangi kegemarannya. Menyaksikan keadaan itu, tiba-tiba anak-anak berteriak-teriak sambil menangis.


"Mama! Mama!"Ayu berguling-guling di karpet sambil menjerit-jerit. Kakak-kakaknya menangis memanggili mamanya sambil menyusuri empat dinding kamar kosong itu. Saya tak peduli. Saya minta sopir untuk membongkar plafon, barangkali pikiran saya yang bodoh bisa menemukan persembunyian Laksmi.


Akhirnya anak-anak jatuh tertidur kelelahan. Mereka melingkar di tengah-tengah kamar yang sebenarnya tidak luas itu. Saya terduduk di pojok. Ada yang terputus dalam alur perjalanan rumah tangga kami. Sebuah jalan raya yang tiba-tiba lenyap dirakus hutan. Lalu tercipta jalan setapak, menyanyi Tuhan dengan gelang Saturnus, api tiba-tiba terhunus. Konser yang belum dimainkan oleh dirigen yang menunggu pesinden. Saya menatap tubuh anak-anak yang pulas itu seperti gundukan-gundukan pasir di tempat mereka bermain di Pantai Carita, suatu hari yang cerah empat bulan yang lalu.


SAYA minta sopir ngebut ke bilangan Senayan, di depan kompleks TVRI, untuk membeli bunga kacapiring kesukaan Laksmi. Saya memilih kembang-kembang itu sendiri. Pada pukul delapan sehabis makan malam, saya minta anak-anak menaruh bunga kacapiring itu di dalam vas kesukaan mamanya di tengah-tengah kamar. Lalu kami berkumpul di pojok kamar. Kami persis anak yatim piatu. Anak-anak ayam yang kehilangan induknya.


Seorang pembantu masuk menaruhkan segelas jus mentimun kesukaan Laksmi di dekat vas bunga itu. Seketika saya terkesiap. Di dapur, pembantu itu saya suruh mengambil kembali jus mentimun itu dan saya membantingnya sampai gelas itu pecah berkeping-keping. Pembantu itu menangis sambil berlari masuk ke kamarnya.


"Apa maksudmu menaruh jus mentimun itu di dalam kamar ibu!" bentak saya.

"Setiap hari jus mentimun dihidangkan di kamar ibu, pak," jawab pembantu.

"Kamu gila!" bentak saya.

“Jus itu selalu habis diminum ibu, pak."

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?"

"Kira bapak sudah tahu."

"Apa kamu pernah lihat ibu minum jus itu, he!"

"Ibu tidak ada tapi ada, pak."


Pembantu itu menangis sambil menunduk. Para pembantu lainnya bersembunyi di kamarnya. Saya terduduk di lantai dapur. Barangkali yang gila itu saya. Air mata saya berlelehan. Laksmi tidak ada, tetapi ada. Ini sudah keterlaluan dan sangat jauh menyimpang dari pengalaman perjalanan karier saya. Iman yang begitu tinggi dari orang-orang sederhana seperti para pembantu dan para sopir memberi pelajaran betapa perjalanan hidup itu tidak lurus bahkan perjalanan hidup orang-orang saleh sekalipun. Setiap perahu menyimpan gelombang. Setiap hasrat menyimpan nafsu, dendam, dan tindakan yang tidak masuk akal.


“APA papa punya salah sama mama?" tanya Astri pada suatu sore ketika kami minum teh berdua di beranda.

"Kamu pikir, papa punya salah sama mama?"

"Menurut papa bagaimana?"

"Menurut Astri bagaimana?"

"Mana tahu...?"

"Cobalah berterus terang Astri, apa kata hatimu."

"Cobalah Papa mendengar kata hati Papa, bagaimana."

"Orang lain lebih tahu. Bagaimana menurut Astri."

"Papa malu, ya, berterus terang."

"Nah, kamu curiga. Nada bicaramu seolah Papa memang punya salah sama Mama."

"Nah, Papa yang curiga."

"Kamu."

"Papa."

"Kamu."

"Papa."


Apakah saya cukup waras untuk mengalami semua peristiwa yang tak terbayangkan ini? Saya yang ingin hidup secara sederhana, penuh kegembiraan, tidak begitu saja bisa mulus melaksanakannya meski syarat-syarat untuk itu semua terpenuhi. Saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya harus mencari sebab-sebabnya.


Malam-malam selanjutnya kami tidur di kamar semedi Laksmi itu. Di atas karpet, kami berbaring berderet-deret seperti pengungsi. Saya berbahagia karena anak-anak sudah mulai kerasan. Bunga kacapiring itu boleh jadi memberi oksigen kepada kami. Mungkin karena jasa Eyang Niniek yang begitu penuh kasih sayang mengasuh anak-anak. Memang, harus ada orang tua yang setia tinggal di rumah untuk mengayomi rumahtangga. Orang tua yang selalu mondar-mandir antara dapur dan ruang keluarga. Orang tua yang membersihkan udara di dalam rumah.


PADA suatu malam ketika saya tiba dari kantor, terdengar dari dalam kamar Laksmi, anak-anak tertawa dan bersorak-sorai ramai sekali.


"Mama curang. Mama curang," teriak anak-anak tertawa penuh canda."

Tentu saja Mama selalu menang, habis Mama enggak kelihatan, sih.

"Saya intip dari pintu, anak-anak tertawa, berteriak, berlarian memutari kamar sambil menggenggam apel dan melemparkannya ke udara.Saya terkulai di depan pintu dengan berurai airmata. Ini gila. Saya tak bisa menerima ini semua. Ini keterlaluan. Saya harus merebut kembali kebahagiaan itu. Saya harus merebut kembali Laksmi.


Ketika malam telah hening, ketika anak-anak sudah berada di dunia lain, barangkali, pelan saya masuk. Setelah shalat istikharah, saya berdoa di pojok. Mencoba memusatkan pikiran. Kamar itu temaram, menunggu sesuatu yang baru dari kehidupan kami. Perjanjian baru perlu ditandatangani, dengan keyakinan penuh, dengan kedisiplinan, dengan kesetiaan.


"Laksmi," bisik saya. "Maafkan saya. Saya telah mengacaukan segalanya. Saya telah merusak rumah tanga kita. Ketika Astri bertanya, apakah saya punya salah padamu, saya sadar, inilah sumber dari segala yang mengerikan itu. Laksmi, saya minta maaf. Benar, saya bersalah kepadamu. Di depanmu ini, saya mengakui, saya berselingkuh. Berkali-kali. Secara sadar saya melakukannya. Itu kesalahan besar. Suatu dosa besar. Barangkali di kantor kami semua sudah gila. Kami dicengkeram oleh situasi yang sangat sulit untuk kami hindari. Kami terkepung tembok. Beban pekerjaan terlalu berat. Hiburan memang bermacam-macam bentuknya untuk memunggah semua beban itu. Saya tak mampu melakukan pilihan. Maafkan saya. Sekarang saya memohon dengan sangat kepadamu, maafkanlah saya. Kembalilah. Saya minta Laksmi kembali ke dalam keluarga. Kamu tahu, anak-anak sangat membutuhkanmu. Laksmi, mereka tidak mungkin bisa hidup tanpa kamu. Mereka sangat mungkin akan gagal dalam hidup karena tanpa kamu. Lebih-lebih saya. Dengan ini saya berjanji, juga bersumpah, saya tak akan mengulangi perbuatan itu. Kasih kesempatan kepada saya. Laksmi. Kasih kesempatan. Saya paham sekali sekarang, tak ada wanita lain yang bisa saya cintai. Laksmi, engkaulah satu-satunya yang saya cintai sampai akhir zaman. Engkau suci, Laksmi sedang saya profan."



Tangerang, 11 Juni 2002


Judul Cerpen     : Kacapiring
Pengarang        : Danarto
Terbit awal      :
Judul Buku       : Kacapiring

Lauk Dari Langit | Cerpen: Danarto

0



Hari masih pagi ketika gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak, "Hujan ikan! Hujan Ikan!" Kepalanya menengadah menatap angkasa mencari tahu apakah ada lubang menganga nun di atas sana dari mana ikan-ikan melayang beramai-ramai terjun ke bumi. Gadis kecil itu juga berlari mengitari gubuk tempat tinggalnya dengan teriakan tak berkeputusan, "Hujan ikan! Hujan ikan!"


Ayah dan ibunya, juga dua kakaknya muncul dari dalam gubuk sambil menatap ke udara. Sesaat ratusan ekor ikan menghujani keluarga itu. Dengan mulut menganga, beruntun ucapan "masya Allah", tak disadari keajaiban sedang berlangsung di kediaman mereka.


"Hujan ikan! Hujan ikan!" teriakan gadis kecil itu terus-menerus penuh kegembiraan.


Keluarga itu lalu memunguti dengan cekatan ratusan ekor ikan yang berserakan di rerumputan pelataran, kebun, dan atap gubuk mereka. "Subhanallah," berulang-ulang terlantun dari mulut mereka. Apa yang sedang terjadi dengan langit? Mengapa hujan ikan seolah-olah disajikan kepada mereka? Hujan ikan sesaat yang meluncurkan ratusan ekor ikan dari langit, apakah ini berkah? Apakah ini bencana? Mereka mencoba memahami kehendak Tuhan yang tak terduga, seperti halnya memahami hidup mereka sendiri yang serba jauh dari pengandaian.


Kelihatan keluarga ini tak biasa berandai-andai. Hidup sehari-hari keluarga yang berkebun sayuran ini penuh kepastian. Kerja keras dan bersyukur kepada Tuhan. Sebuah keluarga dengan tiga anak, dua lelaki, satu perempuan, tahu apa yang harus dilakukan. Hidup terpencil di sebuah bukit, mereka tampak bebas menggarap lahan yang ada hampir-tak berbatas. Bayam, kangkung, kul, singkong, kacang panjang, cabai, sudah bertahun-tahun menghidupi keluarga ini sejak pengantin baru.


Merasa tak bisa hidup di kota, suami istri itu memilih menetap di sebuah bukit. Dengan tetangga yang berjauhan, keduanya merasakan kebebasan. Bukit yang tanpa tuan, keduanya serta-merta -- sebagaimana para tetangganya -- menjadi pemilik sepenggal lahan kebun yang dipilihnya secara bebas. Tangan-tangan Pemda boleh jadi tidak memadai jumlahnya untuk bisa mengurusi lahan perkebunan atau pertanian di daerah perbukitan itu, mengingat luasnya tanah dan sedikitnya minat penduduk untuk tinggal di situ sehingga terkesan siapa pun boleh mengolah tanah itu seberapa pun maunya. Mau menanam apa saja, tak ada yang melarang, tak ada juga yang mengizinkan. Sampai akhirnya keduanya beranak-pinak. Mereka berbahagia.


Sebagaimana para tetangganya, setiap saat keluarga itu dapat memperluas lahannya dengan leluasa. Disamping sayur-mayur, keluarga itu mencoba menanam kembang. Di antaranya anggrek. Namun sejauh ini belum dapat diukur keberhasilan usaha kebun anggrek itu. Sedang sayur-mayur yang menjadi kebutuhan sehari-hari, keluarga itu menjualnya kepada pedagang yang mengambilnya dan memasarkannya di kota. Dari sini keluarga itu hidup cukup memadai.


Jarak yang cukup jauh dari kota menyebabkan para penghuni perbukitan itu cukup sulit menyekolahkan anak-anaknya. Si bungsu, gadis kecil itu, sekitar enam tahun usianya, yang suka berjingkrak-jingkrak, hidup menyatu dengan kangkung, bayam, kacang panjang, burung, tikus, dan kijang. Gadis kecil itu sering ngobrol dengan burung maupun tikus yang berseliweran di sekitar kebun itu. Pada suatu hari, dia melihat kijang di kejauhan dan memanggilnya. Kijang itu nampak bengong, heran, ada seorang gadis kecil yang barangkali terlalu berani memanggil binatang yang punya tanduk itu. Kenapa tidak?


Satu saat, keluarga itu kedatangan tamu. Dari kota, tamu itu mencatat jumlah orang di keluarga itu. Hanya begitu saja. Petugas itu tak menanyakan soal lain, misalnya soal surat izin tinggal dan menggarap lahan. Barangkali saja, petugas itu tidak mau repot untuk menanyai ini dan itu, sementara pekerjaan di kantor sudah cukup melelahkan. Kemurnian hati para petugas kota dan keluarga itu agaknya terjalin baik sehingga urusan kartu keluarga dan tetek-bengek lainnya tidak perlu harus menguras keringat dan lain sebagainya.


Dari atas bukit itu, pemandangan kota tampak tergelar dengan jelas. Kesibukan kota dengan lalu-lalang lalu-lintasnya merupakan pemandangan yang menarik untuk mendorong siapa pun bekerja keras. Di malam hari, pemandangan kota lain lagi daya pikatnya. Lampu-lampu rumah, toko, jalan raya, dan lampu-lampu kendaraan yang susul-menyusul di malam gelap memberi suasana kehidupan yang lain dari kehidupan senyatanya. Di malam hari, kota tak perlu nama. Di malam hari, kota mencipta dunia yang tak dikenal manusia. Mengaduk rasa ramai di hati dan rasa tentaram di perasaan.


Sarapan kali ini mencatat hujan ikan disajikan di meja makan. Setelah sujud syukur berjamaah, keluarga itu mengitari meja makan. Meja makan dari anyaman bambu yang dibuat sendiri, merekam suara reyot, kri-et... kri-et... setiap meja makan itu disentuh atau pun ditindih. Makan pagi keluarga itu menikmati lauk-pauk ikan yang berlimpah. Belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, lauk hanya terdiri dari ikan asin dan sambal terasi di antara sayuran yang direbus dengan garam.


Sebelum makan, mereka berdoa. Mereka makan ikan yang dibakar sebanyak yang mereka suka. Anak-anak sangat menikmati. Mereka bertiga terus menambah ikannya. Di antara bunyi kecap bibirnya dan pergulatan lidahnya dengan ikannya, ketiga anak itu juga asyik ngobrol, hal yang sebelumnya tidak dibolehkan ayah dan ibunya. Ngobrol waktu makan hanya akan menjauhkan berkah Allah, kata ayah dan ibunya. Doanya tidak dikabulkan Allah. Makan sebagai berkah dari Allah harus dinikmati dengan benar. Pagi itu mereka lupa semuanya tentang hal itu. Si bungsu gadis kecil itu terus bercerita bagaimana dia tertimpa ikan-ikan yang terjun dari angkasa. Seekor di antaranya berhasil dia tangkap dengan jari-jemarinya yang kecil. Ikan itu menggelepar ingin lepas. Puluhan ekor menggelepar di rerumputan. Sejumlah lainnya meloncat dari atap gubuk.


Namun, tidak demikian dengan ayah dan ibunya. Kedua orangtua itu menikmati makannya dengan tercenung. Diam. Berkelindan dengan tanda tanya. Peristiwa pagi itu seperti memburu keduanya. Mau lari kemana pun akan terus diuber. Berondongan tanda tanya menyergap ke benaknya. Kedua orangtua itu terbenam di antara bunyi kunyahan ikannya.


"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini?" kata sang suami di dalam hati.

"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini, tidak perlu kita ketahui," kata istrinya di dalam hati juga.

"Mengapa tidak boleh kita ketahui?" kata suami di dalam hati.

"Berkahnya akan berkurang," kata si istri di dalam hati.

"Mengapa berkahnya berkurang?"

"Karena kita ingin mengetahui suatu rahasia, padahal bersyukur lebih baik."

"Saya tidak mengerti."

"Makanya lebih baik diam."


Percakapan di dalam hati itu kebetulan bisa bersambung. Suami itu tetap diam sambil mengunyah. Istrinya tetap diam juga sambil mengunyah. Terdengar bunyi kunyahan. Gigi-gigi yang menggerus makanan. Leher turun naik seperti mengirim barang dari atas ke bawah. Berapa ekor ikan yang habis dilahap, keduanya tentu tidak menghitungnya. Suami istri itu mencoba untuk berbicara tetapi ragu-ragu. Barangkali apa yang mau dikatakannya penting tapi desakan untuk tidak melakukannya juga keras. Sampai selesai makan keduanya diam untuk sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.


Banyak tanda-tanda Allah yang tidak perlu diketahui maknanya. Banyak pertimbangan untuk diam dari banyak gejala bagaimana pun musykilnya. Barangkali Tuhan lebih suka begitu. Atau kita sedang mengatasnamakan Tuhan? Bagaimana mungkin kita berani? Kita hanya pura-pura berani, Tuhan tahu itu. Atau kita menyikapi setiap gejala sebagai pahala dan bencana? Sebagai pahala karena kita suka. Sebagai bencana karena kesukaan kita menimbulkan kesedihan bagi yang lain.


Ikan-ikan yang dikumpulkan pagi itu menggunung di dalam gubuk mereka. Berkah itu memusingkan mereka karena ikan-ikan itu tidak boleh busuk. Harus secepatnya digarami. Dari mana bisa didapat garam secepatnya? Keluarga itu tidak punya uang untuk memborong garam. Yang ada hanya sekadar garam persediaan untuk memasak. Ketika kelelahan mengumpulkan ratusan ekor ikan itu memporot tenaga mereka, keluarga itu hanya terduduk diam. Ayah, ibu, dan ketiga anaknya bagai patung yang dipajang di depan buat menyambut tamu yang datang. Tetapi ternyata tidak ada tamu yang datang. Yang bertamu hanya rasa bingung.


Tiba-tiba muncul suatu pikiran di benak sang suami. Ia menyat dari kursi bambunya seperti tersentak oleh berkah yang lain. Dengan cekatan ia merangkai ikan-ikan itu satu-persatu ditusuk dengan tali bambu. Dengan tongkat bambu yang dipanggul cukup banyak ikan yang bisa dibawa. Ia dapat menjual ikan-ikan itu di pasar atau menukarnya dengan garam. Ia berangkat dengan bocah sulungnya. Dengan penuh kegembiraan ayah dan anak itu meninggalkan gubuknya kali ini sebagai penjual ikan. Istri dan kedua anaknya yang tinggal, berdebar melihat kecekatan kerja sang suami dan ayah mereka. Si gadis kecil mau ikut tapi dilarang ibunya. Si kecil tentu tidak bisa berjalan cepat yang hanya akan memperlambat langkah.


Kaki yang kokoh, dada yang bidang, badan yang tegap, tangan yang cekatan, semuanya ini modal yang menjadikan sang suami sebagai kepala rumahtangga yang sigap bekerja. Kini ia dan anak sulungnya menuruni bukit pada jalan setapak yang diapit pohon dan rimbunan tanaman. Jalan setapak itu sehari-harinya licin. Namun kali ini lebih licin lagi, bahkan berlumpur.


Begitu sampai di bibir bukit dan menatap kota di depannya, sang ayah dan anaknya jatuh terduduk, kekuatannya dilolosi. Ikan yang dipanggulnya terserak di tanah. Keduanya meraung sejadi-jadinya: kota telah musnah, ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana.



Tangerang, 14 Februari 2006


Judul Cerpen : Lauk Dari Langit

Pengarang    : Danarto

Terbit awal    :

Judul Buku    : Kacapiring

Nistagmus | Cerpen: Danarto

0


SUBUH itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?


Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Selama ini saya memang dekat dengan para tetangga. Sering saya diajak ngobrol tentang berbagai masalah yang dihadapi para tetangga. Di samping para tetangga, juga kenalan-kenalan jauh yang datang dengan kendaraan khusus. Kadang datang berbondong. Tamu pun bisa mencapai sepuluh sampai lima belas orang sehingga rumah jadi regeng, ramai. Kami ngobrol sekitar persoalan yang menyangkut rumah tangga dengan segala nuansanya. Juga tentang hubungan suami istri, menantu dengan mertua, bawahan dengan atasan, persoalan anak dengan orangtuanya, juga masalah percintaan antaranak-anak remaja.


Jika ditanya, saya menjawab sekenanya, sekadar yang saya tahu. Saya tak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan. Masalah-masalah itu menjadi obrolan yang berkepanjangan. Sungguh menghabiskan waktu. Tapi asyik juga karena hidup di dusun yang sepi sekali-kali perlu mengadakan pertemuan supaya merasakan kemeriahan.


Kadang-kadang saya juga diundang camat, bupati, maupun wali kota, diajak berbincang mengenai berbagai hal yang pelik, yang sama sekali tidak saya ketahui. Misalnya, soal usaha tambak udang, perbankan, perburuhan, pengairan sawah, bibit tanaman, dan banyak lagi sejumlah persoalan yang lagi hangat atau panas di masyarakat yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman.


Rasanya camat, bupati, dan wali kota, tidak benar-benar membutuhkan saya. Rasa saya mereka sekadar butuh teman ngobrol. Setelah dua jam pembicaraan ke sana-kemari, lalu kami pindah tempat duduk dan lebih santai sambil ngopi. Dan pembicaraan beralih ke olahraga, misalnya, juga tayangan televisi. Selama pertemuan-pertemuan dengan para tetangga, teman-teman, ataupun dengan para pembesar itu sebenarnya saya banyak diam. Untuk sikap saya itu, saya dijuluki "pendengar yang baik".


Selama ini saya dikenal sebagai penulis obituari (berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya) di surat kabar setempat. Sebagai penulis lepas, mula-mula saya menulis obituari hanya sambil lalu. Karena kematian seorang teman baik yang menjadi tetangga dekat, menyadarkan saya, mengenang lewat tulisan obituari itu mengesankan. Lama-lama saya menulis obituari menjadi semacam panggilan. Cukup menyenangkan. Orang-orang kebanyakan yang mungkin pernah lalu-lalang di depan rumah saya, di sebuah desa yang lengang, yang beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal, lalu saya cari alamatnya. Saya interviu keluarganya. Saya catat riwayat hidupnya, pekerjaan terakhirnya, dan berapa orang saudaranya. Obituari yang meliputi orang-orang biasa itu bisa saudara, keluarga, teman, sampai kenalan baru.


Saya bisa memanfaatkan rubrik khusus obituari setiap saat atas kebaikan redaksi koran lokal yang memberi saya kebebasan. Dengan enak saya bisa menulis obituari setiap hari. Pernah kejadian dalam seminggu sepuluh orang. Selama ini tulisan obituari saya sudah mencapai 5.000 orang. Seluruhnya orang- orang biasa, lewat mesin ketik manual yang kemudian berubah ke mesin ketik komputer. Saya menolak ketika diminta menulis obituari orang-orang ternama. Alasan saya, orang-orang terkenal itu sudah banyak penulisnya, sedangkan untuk orang-orang biasa, agaknya hanya saya seorang.


Tulisan obituari itu tidak panjang, sekitar 5.000 karakter. Kadang sampai 8.000 karakter jika orangnya kocak atau punya pekerjaan yang unik. Misalnya, ada seorang tukang becak yang menyerahkan becaknya kepada seorang kepala tibum (penertiban umum) dengan tujuan supaya becaknya dijual untuk mengongkosi sekolah anaknya. Si kepala tibum menolak dengan mengembalikan becaknya sambil mengirim beras 5 kilogram kepada si tukang becak. Ketika beberapa waktu kemudian tukang becak itu meninggal karena faktor usia, saya menulis obituarinya dengan memasukkan wawancara kepala tibum itu.


Ada seorang pegawai negeri yang tidak mau dipensiun karena uang pensiunnya kecil, sementara beban keluarganya besar. Kepala kantor orang itu kebingungan, lalu mencari akal agar bawahannya itu sadar. Masa pensiun pasti datang, sebagaimana kematian itu pasti tiba. Lalu si kepala kantor meminta jasa seorang tukang sulap yang pandai menghipnotis orang. Begitulah. Bawahannya itu lalu dihipnotis hingga tertidur di mejanya. Lalu ia dinaikkan ke dalam mobil, dibawa pulang ke rumahnya. Begitu siuman, ia kaget, kenapa tidur di rumah. Keluarganya memberi tahu, ia seharian di rumah saja, tidak ke mana-mana.


Sejauh ini saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, apa ada yang tertarik membaca obituari saya. Saya yang terus beredar di banyak keluarga yang kematian saudaranya, menyebabkan banyak orang mengenal saya. Barangkali mereka juga membaca obituarinya. Dipasang pula fotonya yang bisa menyebabkan keluarganya tertambat kenangannya.


Lelucon-lelucon pun menyebar dengan semarak di pasar, kompleks pertokoan, ataupun di stasiun bus, yang berkenaan dengan tulisan obituari itu. Banyak komentar. Banyak usulan. Yang jail maupun pelesetan. Dan sebagainya.


"Kenapa kamu tidak lekas mati supaya Pak Jurnalis bisa menulismu sekarang!"

"Biar kamu mati, tak ada yang menulis, meski kamu membayar Pak Jurnalis!"

"Kamu tidak akan mati, sampai kamu menulis riwayatmu sendiri!"


Saya terbahak mendengar lelucon-lelucon itu. Itu semua menyebabkan saya akrab dengan semua orang. Setiap saya lewat atau mampir membeli rokok di kios, selalu saja orang nyeletuk: "Pak Jurnalis. Saya nggak mau ditulis sekarang." Atau ada yang berteriak: "Pak Jurnalis. Ntar saya yang menulis Bapak."


Tapi, ada saja orang yang enggan bertemu atau lebih-lebih ngobrol dengan saya. Ada yang bilang, seseorang yang ngobrol dengan saya, ada yang mengartikan, saya sedang mewawancarainya. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang tersebut mau meninggal. Wah, ini bahaya. Memang ada seorang yang sehabis ngobrol dengan saya, ia meninggal. Tapi ini kebetulan saja. Dari kejadian itu, saya mendapat sebutan yang aneh-aneh, yang saya malas menuliskan sebutan-sebutan itu di sini. Maka ada saja orang yang anti-saya. Ini benar-benar klenik.


"Pak, tinggal di mana?" tanya saya kepada seseorang yang saya pinjami korek api untuk menyalakan rokok saya.

"Maaf, Pak Jurnalis. Saya tak bisa menjawab," jawabnya.

"Lho, kenapa?"

"Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa."

"Baiklah, Pak."

"Saya permisi, Pak."

"Jangan ditinggal korek apinya ini."

"Biar untuk Bapak saja."

"Lho, kenapa?"

"Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa."


Inilah sepenggal dialog di pasar sepeda motor dengan seseorang yang enggan bertegur sapa dengan saya karena keyakinan-keyakinan klenik itu. Keterlaluan.


Jadinya lama-kelamaan saya enggan menyapa orang. Saya jadi pendiam dan menyendiri. Di pertemuan-pertemuan desa, saya juga diam dan menyendiri supaya orang nyaman dengan saya. Ketika orang menanyakan pendapat saya, sedikit saja saya ngomong. Lalu malah terjadi serba-salah. Banyak ngomong dianggap meramal, sedikit ngomong dianggap mengetahui peristiwa yang bakal terjadi. Ketika di sebuah toko saya menghindar supaya tidak bertemu dengan seseorang, orang tersebut malah mengejar saya sambil menyapa: "Bapak menghindar dari saya. Apa yang akan terjadi dengan saya, Pak?"


Istri dan anak-anak saya juga merasakan perubahan itu. Ada yang berubah dengan tingkah-laku saya, katanya. Apa ada gejala sesuatu? Tentu saja saya merasa tidak berubah dengan tingkah-laku saya. Saya juga tidak tahu adanya gejala sesuatu. Memangnya saya cenayang. Anak-anak saya, lima orang, terutama si sulung yang duduk di SMA kelas 2, dan si bungsu di SD kelas 5, yang paling kritis. Keduanya cencala (lancang mulut) terhadap sikap saya dalam menulis obituari. Kritiknya tidak berdasar. Menurut mereka, tulisan saya tidak adil terhadap seseorang dan berlebihan bagi yang lain. Jika sampai di sini hal itu masih baik. Tetapi jika sudah menyangkut masalah dosa dan pahala, wah, anak-anak ini sok tahu. Seolah-olah anak-anak ini cukup rajin membaca buku-buku agama. Pernah saya menyergah anak-anak saya itu:


"Dari mana kalian tahu, sebuah tulisan berdosa dan tulisan yang lain berpahala?"

"Dari Ayah," jawab anak-anak itu.

"Kalian ngawur."

"Ayah marah kena keritik."

"Karena keritik kalian membawa-bawa dosa dan pahala."

"Boleh saja, kan."

"Tidak bisa seenaknya begitu."

"Semua orang bicara dosa dan pahala."

"Dalam hubungan apa orang bicara seperti itu."

"Semuanya."

"Nah, kalian ngawur."

"Begini. Ayah pernah menulis obituari. Boleh jadi Allah sudah membuatkan rumah baginya di surga. Nah, ini dosa, karena Ayah memaksa Allah membuatkan rumah baginya di surga."

"Itu harapan saya. Itu doa saya. Itulah usaha sebaik-baiknya seorang penulis obituari," jawab saya.

"Ayah juga pernah menulis obituari seorang pengusaha. Ia meninggalkan seorang istri dengan empat orang anak. Nah, ini pahala bagi Ayah karena Ayah menyembunyikan tiga istrinya dan anak-anaknya yang lain."

"Nah, itu justru kesalahan saya dan saya bisa berdosa karena tidak menulis tiga istri dan anak-anaknya yang lain. Hal itu berarti saya tidak menganggap ada dan penting keberadaan mereka. Mereka bisa tersinggung dan bukan tidak mungkin merasa saya lecehkan."


Mendengar keterangan saya, anak-anak saya itu diam. Saya sering lelah berdebat dengan anak- anak saya tersebut. Mereka suka ngotot dan merasa selalu benar. Padahal saya selalu bilang, kekuatan itu ada batasnya sehingga kita tidak selalu benar. Sebagai ayah, saya mendidik anak-anak saya itu dengan keras. Barangkali karena beban keluarga yang terlalu berat. Lima anak semuanya sekolah, sedang rakus-rakusnya makan, itu semua yang menyebabkan saya sering stres dan mengalami depresi yang tajam.


Kami sebenarnya keluarga bahagia. Penghasilan saya tentu saja jauh dari cukup. Istri saya guru SMP, sedangkan saya sejak remaja penulis lepas, yang untuk makan sehari-harinya saja suka empot-empotan. Saya menulis apa saja, termasuk menulis berita. Di Jogja itulah sejarah saya bermula ketika saya kecantol putri Aceh yang kuliah di UGM. Kami menikah dan pindah ke Aceh dengan gagah berani karena cuma berbekal baju yang kami pakai. Anak-anak mewarisi sifat-sifat ibunya, cerdas dan berani.


Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?


Setelah sarapan, dengan malas saya keluar rumah dan duduk di beranda. Barangkali seperti agen minyak tanah yang siap menyambut para pembeli, saya menyiapkan kertas dan alat tulis. Hari baru membuka matanya. Bahkan matahari masih bergelut dengan kasurnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.00. Orang-orang yang antre tidak sabar seperti mendengar aum macan, merangsek ke depan meja saya. Orang sekian banyak mau ngajak ngobrol apa? Tentang kesulitan hidup? Beras habis dan anak-anak menangis kelaparan? Orang sebanyak ini mau ngobrol sekaligus?


Mata mereka nanar. Gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan, nistagmus, mereka menatap kebenaran, mencecap pencerahan. Alhamdulillah. Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan masya Allah...tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004.


Ketika saya menuruni bukit dengan sempoyongan penuh lumpur, entah bagaimana saya bisa sampai di bukit ini, terlihat pemandangan yang menyebabkan saya pingsan. Entah berapa lama saya pingsan. Waktu saya siuman, seluruh kota telah hancur-lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan. Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas. Seluruh mayat itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, bayi, diselimuti lumpur, berserakan memenuhi ruang dan udara, di reruntuhan rumah, di pekarangan, di kebun, di jalan, di atas pohon. Tak ada tanda-tanda kehidupan secuil pun. Bahkan burung-burung, tak seekor pun tampak terbang. Saya tak tahu lagi di mana rumah saya.


Cuaca cerah. Sinar matahari memancar, panas. Awan putih berarak dengan latar langit biru meneduhkan. Saya berdiri sendirian di samping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota.



Tangerang, 20 januari 2015


Judul Cerpen  : Nistagmus

Pengarang      : Danarto

Terbit awal      :

Judul Buku      : Kacapiring

Pohon Yang Satu Itu | Cerpen: Danarto

0

Pohon yang satu itu tegak di tengah kota. Membelah jalan besar, lalu-lalang kendaraan bising, pohon itu menjadi monumen hidup. Makin hari pohon itu makin membesar dan meninggi. Sejak malapetaka gempa dan tsunami pada Ahad, 26 Desember 2004, tiba-tiba saja pohon itu sudah mengangkangi kota, seperti muncul dari dasar bumi setelah ribuan tahun tertimbun tanah dan peradaban. Di bawah pohon itu masih bertimbun jenasah-jenasah para syuhada, ribuan jiwa jumlahnya, tak seorang pun kelihatan lewat di bawahnya. Laut telah membungkam segalanya. Laut telah menelan jerit tangis.


Hari demi hari berlalu dengan lengang dan kepedihan. Tak terusik oleh angin, panas terik, dan kenangan. Apa yang bisa dicatat dari derit pintu yang karatan. Apa yang bisa dicatat dari jirigen minyak tanah yang dimain-mainkan gelombang di tengah samudera. Di dalamnya telah merekam peluh dan keluh ibu yang berburu kebutuhan dapur. Ayah telah menyelam ke dasar lautan mencari jawab dari penderitaan sambil membawa anak-anaknya yang tak satu pun ketinggalan. Ibu barangkali telah lebih dulu mengurung diri di bawah rumah sambil menyelesaikan ulekan sambalnya yang belum rampung.


Ketika anak-anak yang menelan nasi goreng sarapannya terakhir lalu melangkahkan kakinya keluar pekarangan rumahnya dengan beban tas bukunya di punggungnya. Tukang kebun sekolah mengangkut sampah dan membakarnya. Jam tujuh pagi semuanya berkejaran dengan waktu. Guru-guru menyeberang jalan menengok ke kiri dan ke kanan, eh, titip kucing yang mengikuti dari belakang. Toko-toko bersiap-siap untuk membuka dagangannya. Lalu-lalang lalu-lintas memburu sesuap nasi guna membangkitkan tulang-belulang gairah hidup.


Ketika udara cerah, panas matahari tak terhalang oleh utang-piutang, tabungan di bank mulai menipis karena belanja yang boros, pertengkaran kecil-kecilan dalam rumahtangga, hidup yang tak hendak--mati yang maunya sendiri, ikan asin yang telah bulukan, o, negeri luhur yang agung, harta karun Nabi Sulaiman yang digondol orang-orang Jakarta, melahirkan kere turun temurun, pesawat-pesawat datang dan pergi, gubernur menatap helikopter yang mengambang di udara, seluruh kawasan berisi kekayaan melimpah bagai dituang dari langit.


Begitulah pohon yang satu itu tegak bagai monumen. Menampakkan diri dari segala jurusan walau tak seorang pun menatapnya. O, pohon, pohon, alangkah kesepianmu. Kamu hanya punya warga yang telah bergeletakan tidur di sepanjang abad, di seluruh pemandangan, di reruntuhan rumah, gedung, kendaraan, di jalan-jalan, di kebun, di sawah, di pohon, di bukit, di atap, dan ditelan laut sepanjang amarah bersama nyanyian dan seruling yang telah lusuh ditiup. Ke sanalah engkau pergi di kedalaman jantung, ke kampung tabungan jiwa yang tak retak.


Pohon yang dari ke hari semakin membesar dan meninggi, pohon dari sejarah, pohon dari jerih payah, jauh dari jangkauan pandang, jauh dari pucuk gunung, jauh dari uluran tangan. Tataplah dengan helikopter coba mencium bau kuncup ujungnya, engkau hanya akan menatap semburat rimbun daunnya yang meninggi lenyap ditelan angkasa raya. Tak sudah, tak cukup mata, manusia yang kesepian, sendiri di alam semesta, menumpang bahtera tanpa tenda, kehujanan, kepanasan, hitam wangimu, putih langsatmu, kesumba birahi di pentas nasib, kau tenteng ke mana jalan yang akhirnya sesat semata, mengaduhlah, mengaduhlah.


Pohon yang lengang. Hari pertama ditelan masa. Hari kedua ditelan ruang. Hari ketiga ditelan rahasia. Hari-hari ditelan angkara murka, tak seorang pun tersisa, ludes semua, udara gelap, tinggal petir di tingkap atap, senandung laju gelombang, angin sakal goyang layarnya, sekianlah segala ucapan, usai sudah pertunjukan. Aceh hikayatmu, Aceh dendangmu, Aceh tarimu, di sinilah pelabuhanmu. Sajak terakhir sudah dibacakan. Bahkan huruf-hurufnya sudah hanyut menyatu dengan gelombang. Tidur di dasar samudera ketiadaan.


Menjulang tinggi bagai galah, menjangkau awan berarak. Menjulang tinggi bagai belalai, merebut titik embun sebelum jatuh jadi hujan. Menjulang tinggi bagai bintang menantang rembulan. Hanyalah pohon. Hanyalah pohon. Rimbun di siang, rimbun di malam. Nyanyian dari jauh yang kepalang datang. Diundang oleh siput, diundang oleh sinar lampu bagan. Pohon bersembunyi pada rimbun daun dari panas matahari. Orang-orang berteduh menguak aduh. Panasnya tujuh. Panasnya gambuh. Semua orang kegerahan namun tak berbekal kipas tapi Tuhan bikinkan tangan dengan lima jari. Daging meluap, penyu dan segala makanan bertaut, hiu memilih rumput laut, vegetarian, dengan kuah tinja meteor.


Hari-hari pohon itu diam menatap ribuan jenasah, puluhan ribu, hari-hari menapaki jejak waktu, hari-hari lengang. Kota mati. Lembah mati. Telah datang tamat yang dinanti-nanti bau kiamat. Hari-hari siang ditutup malam. Hari-hari malam ditutup siang. Terdengar suara-suara orang di dalam rimbunan daun pohon itu. Suara-suara orang. Menjulang. Percakapan orang-orang yang datang dan pergi, berwisata atau sekadar mencari hiburan, sekian hari setelah tsunami, barangkali satu bulan kemudian, dari berbagai propinsi, takjub menatap pohon itu menengadah mencari suara-suara orang ramai yang ditingkah cicit burung-burung maupun tangis bayi.


"Barangkali pohon itu datang dari tengah samudera."

"Pohon yang datang dari langit."

"Pohon sebuah pulau yang tercerabut dari tengah samudera, terbang dibawa gelombang tsunami."

"Pohon yang dilempar di tengah kota seperti kapal-kapal yang berlabuh di antara lalu-lintas ramai pertokoan."


Monumen hidup itu telah menulis catatan harian. Catatan harian sebatang pohon. Suara orang-orang yang terdengar dari dalam pohon itu boleh jadi adalah orang-orang yang selamat memanjat pohon itu ketika kota tenggelam oleh tsunami. Orang-orang tidak mau turun lagi dari pohon, keburu jatuh cinta, karena apa gunanya selalu mengunyah kecemasan. Gelombang itu setinggi gunung yang terus menghampiri dalam mimpi mereka di siang dan di malam. Akhirnya orang-orang yang selamat itu hidup di atas pohon.


Pada tanggal 26 Maret 2005, tiga bulan setelah malapetaka tsunami itu, pada suatu subuh, terdengar tangis bayi dari dalam pohon itu. Orang-orang yang hidup di sekitar pohon itu bersorak. Mereka keluar rumah mendatangi pohon itu dan menatap ke atas seperti ikut berbahagia atas kelahiran bayi itu. Satu dua orang memanjat pohon itu untuk mencari suara bayi itu. Tapi, seperti yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, orang-orang yang memanjat pohon itu untuk kepingin tahu apa yang terjadi dengan suara-suara orang di atas itu, tak pernah kembali.


Barangkali itulah bayi pertama yang lahir dari keluarga yang hidup di atas pohon itu. Bayi pertama catatan harian tsunami. Lahir dari seorang ibu yang telah besar kandungannya ketika tsunami datang. Kemudian berita tentang kelahiran bayi di atas pohon itu secepatnya tersebar ke seluruh negeri. Orang-orang dari segala penjuru berdatangan. Mereka mendirikan tenda-tenda di bawah pohon itu untuk mendengar tangis bayi itu. Berhari-hari wisata tangis bayi di atas pohon itu berlangsung meriah karena di samping tenda-tenda, berdiri warung-warung.


Setiap kali terdengar tangis bayi itu, orang-orang piknik itu bersorak. Mereka benar-benar mendapatkan hiburan. Satu dua orang mengikatkan makanan di ranting-ranting pohon itu dengan harapan orang-orang pohon itu mau mengambilnya, tak mendapat jawaban. Kue-kue itu menjadi makanan burung yang ikut memeriahkan tangis bayi itu. Satu dua orang mau memanjat pohon itu tapi orang-orang warung melarangnya, kecuali kalau berani untuk tidak akan kembali ke tanah lagi.


Pada bulan Agustus 2005, ketika orang-orang Eropa dari tim pemantau perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam berdatangan, sempat pula menengok pohon itu. Tapi mereka kelihatan acuh tak acuh. Agaknya mereka tidak begitu percaya tentang orang-orang yang hidup di atas pohon itu, telah beranak-pinak, dalam cara-cara di luar semesta. Mereka mengangguk-angguk sebentar lalu pergi tanpa memberi komentar. Sebaliknya dengan warga kita, makin hari makin banyak yang berdatangan. Lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak, juga bayi, hidup dalam tenda-tenda. Bahkan ada yang membuka usaha di sekitar pohon itu dengan membuka toko kebutuhan dapur.


Untuk sejenak, kesedihan dilupakan. Hidup sebenarnya tidak sesederhana malapetaka tsunami. Hidup adalah alam semesta.



Tangerang, 20 Januari-Agustus 2005


Judul Cerpen     : Pohon Yang Satu Itu

Pengarang        : Danarto

Terbit awal        :

Judul Buku        : Kacapiring