Bangku taman ini masih sama seperti satu bulan yang lalu, tidak berubah tempat. Tepat menghadap tugu monas yang berdiri tegak seperti melambangkan keangkuhan. Aku menatap dengan kagum tugu monas yang berkilau megah karena disorot lampu tembak dari berbagai sudut. Beberapa pohon palem juga menancap mantap beberapa meter tidak jauh dariku. Salah satu pelepah dari salah satu pohon palem itu mengering, bergelayutan dan hampir jatuh. Mungkin dengan sekali tiupan angin kencang akan benar-benar terlepas. Tapi angin di malam ini tidak berhembu dengan kencang, melainkan sepoi-sepoi. Dan tetap dingin. Ya, dingin.
Dari tempat ku duduk rembulan membentuk sabit tetapi terhalang oleh pelepah-pelepah palem. Posisi rembulan itu ada disebelah kiri tepat bersebelahan dengan tugu monas. Ada tiga pasang muda-mudi duduk diatas rumput. Dua lelaki memainkan gitar dan satu lelaki yang lain memainkan tam-tam. Sedang para wanitanya bertepuk tangan, semuanya bernyanyi;
kemesraan ini janganlah cepat berlalu
kemesraan ini ingin ku kenang selalu
hatiku damai jiwaku tentram disampingmu
hatiku damai jiwaku tentram bersamamu...
Seorang wanita tiba-tiba membuka tas dan mencari-cari sesuatu. Dapat. Dikeluarkannya dua buah lilin jumbo, yang satu berwarna merah dan yang satu lagi berwarna biru. Dinyalakannya dengan korek api lalu ditaruhnya kedua lilin itu ditengah-tengah diantara mereka. Suasananya kian menjadi hangat. Ditengah nyanyian salah satu wanitanya menoleh kearahku. Kami saling berpandangan. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum. Tidak lama, lalu dia menolehkan pandangannya kembali keteman-temannya dan kembali bernyanyi. Kualihkan pandanganku juga, keatas langit dan entah mencari apa. Kupejamkan mataku. Bayangmu kembali hadir.
Masih terasa hangat suasana itu, saat dibangku taman ini kamu tidur berbaring disampingku. Mungkin terlelap. Karena lelah berjalan dari stasiun kemayoran, mampir ke pasar baru untuk mencari makanan buka puasa. Lalu jalan lagi ke Masjid Istiqlal untuk sholat maghrib. Dan setelah itu kita kesini untuk yang kesekian kalinya. Duduk menyandarkan tubuh dibangku taman memejamkan mata dan tidak lama tubuhmu kamu baringkan disebelahku, tidur. Malam itu hanya ada sedikit obrolan. Ya, kamu lebih banyak tidur, sedangkan aku terjaga. Menulis puisi tentang malam, monas, dan kita.
Sesekali kubelai wajahmu, kutatap ada ketenangan dan kedamaian terpancar dari wajahmu. Hhmm, bersamamu ternyata dapat menyejukkan hati ini, tentram dan nyaman. Di malam itu ada kejadian lucu, berkali-kali kamu meminta kita pulang, tetapi berkali-kali pula kamu berbaring dan tertidur lagi.
Nyamuk menggigit pipi kananku. Aku tersentak kaget. Kutepuk pipiku dan kubuka mataku. Hhhh, aku sendiri.
Tatapanku masih agak buram. Karena terlalu lama memejamkan mata, mungkin juga tertidur. Entahlah. Tiga pasang muda-mudi sudah tidak ada, entah kemana. Kini berganti dua anak kecil sekitar berumur lima tahunan, dua-duanya perempuan. Mereka sedang asyik berkejar-kejaran. Lompat-lompatan. Terlihat sangat polos, tidak jauh dari mereka kedua orangtuanya memperhatikan dengan seksama sambil bersandar di batang pohon palem. Mataku terasa basah. Betapa bahagianya mereka. Bibirku gemetar menahan airmata agar tidak jatuh. Tetapi tidak bisa. Kubiarkan ia menetes. Kubuka kacamataku lalu ku usap mataku. Begitu cengengnya aku ini.
Dimana kebahagiaan itu kini berada? Kebahagiaan datang hanya untuk pergi. Dan akulah yang membuat kebahagiaan itu menjauh dariku. Aku yang begitu bodoh memperlakukan kebagiaan itu hingga ia tidak betah menetap terlalu lama di keseharianku. Menyesal tiada arti. Tetapi tetap saja aku menyesal. Andai... andai... khayalan yang percuma. Seringnya aku berandai tapi ternyata hanya menjadi omong kosong karena apa yang aku lakukan sangat jauh berbeda dengan apa yang aku omongkan. Bullshit.
Malam terasa panjang. Aku harus tetap melewatinya walau dengan kesendirian. Kesendirian. Hal yang paling menyesakkan untuk dialami. Tapi apa mau dikata, aku harus menerimanya. Salah satu konsekwensi dari satu ketololan perbuatanku. Semilir angin malam menampar wajahku. Dingin. Aku bangkit dari bangku taman. Kutatap bangku taman sesaat. Tersenyum miris. Lalu aku pergi. Aku memang harus pergi. Meninggalkan kenangan untuk sementara atau mungkin untuk selamanya.
Malam di monas hampir sama seperti malam di ancol. Disini juga hampir di setiap sudut entah dibangku-bangku taman, duduk di rerumputan, tangga pagar monas, teras kolam air mancur, bawah pohon ketapang, dibawah patung kartini, para pecinta asyik memadu kasih. Sama seperti di ancol beberapa hari yang lalu dan di kebun raya cibodas awal bulan ini. Di monas malam ini aku pun sendiri. Menikmati kesendirian bersama kenangan yang masih selalu hadir dengan dingin. Dan masih berharap dapat kembali menjadi hangat dan menggelora.
Aku selalu membuka tangan ini untuk kamu datang kembali kedalam pelukanku. Aku berharap.
dalam kenangan: Renjani
Taman Monas, Nov 2006
Dari tempat ku duduk rembulan membentuk sabit tetapi terhalang oleh pelepah-pelepah palem. Posisi rembulan itu ada disebelah kiri tepat bersebelahan dengan tugu monas. Ada tiga pasang muda-mudi duduk diatas rumput. Dua lelaki memainkan gitar dan satu lelaki yang lain memainkan tam-tam. Sedang para wanitanya bertepuk tangan, semuanya bernyanyi;
kemesraan ini janganlah cepat berlalu
kemesraan ini ingin ku kenang selalu
hatiku damai jiwaku tentram disampingmu
hatiku damai jiwaku tentram bersamamu...
Seorang wanita tiba-tiba membuka tas dan mencari-cari sesuatu. Dapat. Dikeluarkannya dua buah lilin jumbo, yang satu berwarna merah dan yang satu lagi berwarna biru. Dinyalakannya dengan korek api lalu ditaruhnya kedua lilin itu ditengah-tengah diantara mereka. Suasananya kian menjadi hangat. Ditengah nyanyian salah satu wanitanya menoleh kearahku. Kami saling berpandangan. Dia tersenyum dan aku pun tersenyum. Tidak lama, lalu dia menolehkan pandangannya kembali keteman-temannya dan kembali bernyanyi. Kualihkan pandanganku juga, keatas langit dan entah mencari apa. Kupejamkan mataku. Bayangmu kembali hadir.
Masih terasa hangat suasana itu, saat dibangku taman ini kamu tidur berbaring disampingku. Mungkin terlelap. Karena lelah berjalan dari stasiun kemayoran, mampir ke pasar baru untuk mencari makanan buka puasa. Lalu jalan lagi ke Masjid Istiqlal untuk sholat maghrib. Dan setelah itu kita kesini untuk yang kesekian kalinya. Duduk menyandarkan tubuh dibangku taman memejamkan mata dan tidak lama tubuhmu kamu baringkan disebelahku, tidur. Malam itu hanya ada sedikit obrolan. Ya, kamu lebih banyak tidur, sedangkan aku terjaga. Menulis puisi tentang malam, monas, dan kita.
Sesekali kubelai wajahmu, kutatap ada ketenangan dan kedamaian terpancar dari wajahmu. Hhmm, bersamamu ternyata dapat menyejukkan hati ini, tentram dan nyaman. Di malam itu ada kejadian lucu, berkali-kali kamu meminta kita pulang, tetapi berkali-kali pula kamu berbaring dan tertidur lagi.
Nyamuk menggigit pipi kananku. Aku tersentak kaget. Kutepuk pipiku dan kubuka mataku. Hhhh, aku sendiri.
Tatapanku masih agak buram. Karena terlalu lama memejamkan mata, mungkin juga tertidur. Entahlah. Tiga pasang muda-mudi sudah tidak ada, entah kemana. Kini berganti dua anak kecil sekitar berumur lima tahunan, dua-duanya perempuan. Mereka sedang asyik berkejar-kejaran. Lompat-lompatan. Terlihat sangat polos, tidak jauh dari mereka kedua orangtuanya memperhatikan dengan seksama sambil bersandar di batang pohon palem. Mataku terasa basah. Betapa bahagianya mereka. Bibirku gemetar menahan airmata agar tidak jatuh. Tetapi tidak bisa. Kubiarkan ia menetes. Kubuka kacamataku lalu ku usap mataku. Begitu cengengnya aku ini.
Dimana kebahagiaan itu kini berada? Kebahagiaan datang hanya untuk pergi. Dan akulah yang membuat kebahagiaan itu menjauh dariku. Aku yang begitu bodoh memperlakukan kebagiaan itu hingga ia tidak betah menetap terlalu lama di keseharianku. Menyesal tiada arti. Tetapi tetap saja aku menyesal. Andai... andai... khayalan yang percuma. Seringnya aku berandai tapi ternyata hanya menjadi omong kosong karena apa yang aku lakukan sangat jauh berbeda dengan apa yang aku omongkan. Bullshit.
Malam terasa panjang. Aku harus tetap melewatinya walau dengan kesendirian. Kesendirian. Hal yang paling menyesakkan untuk dialami. Tapi apa mau dikata, aku harus menerimanya. Salah satu konsekwensi dari satu ketololan perbuatanku. Semilir angin malam menampar wajahku. Dingin. Aku bangkit dari bangku taman. Kutatap bangku taman sesaat. Tersenyum miris. Lalu aku pergi. Aku memang harus pergi. Meninggalkan kenangan untuk sementara atau mungkin untuk selamanya.
Malam di monas hampir sama seperti malam di ancol. Disini juga hampir di setiap sudut entah dibangku-bangku taman, duduk di rerumputan, tangga pagar monas, teras kolam air mancur, bawah pohon ketapang, dibawah patung kartini, para pecinta asyik memadu kasih. Sama seperti di ancol beberapa hari yang lalu dan di kebun raya cibodas awal bulan ini. Di monas malam ini aku pun sendiri. Menikmati kesendirian bersama kenangan yang masih selalu hadir dengan dingin. Dan masih berharap dapat kembali menjadi hangat dan menggelora.
Aku selalu membuka tangan ini untuk kamu datang kembali kedalam pelukanku. Aku berharap.
dalam kenangan: Renjani
Taman Monas, Nov 2006