Senja & Kemuafikan


Seharusnya tak ku kutuk senja di sore hari ini
karena sungguh, seandainya aku tidak munafik aku akan mengatakan dengan sesungguhnya bahwa pendaran kemilau senja yang tadi ku lihat di atas gedung bertingkat duapuluh tujuh itu benar-benar sangat indah dan syahdu. Sepuhan warna merah transparan berhasil membuat semua benda-benda yang tersinarinya terlihat menjadi manis. jalan raya, mobil, motor, pepohonan, manusia-manusia yang berlalu lalang, gedung-gedung yang menjulang ke angkasa..

Tapi ternyata jiwaku memang telah di gerogoti oleh kemunafikan-kemunafikan yang datang berbondong-bondong menyerbu jiwa indahku lalu mengobrak-abriknya dan menjadikannya ruang hitam yang meng-esa-kan kebencian. Sudah terjadi dan aku tidak ingin menyalahkan diriku atas kejadian kemarin, dimana satu kemunafikan aku biarkan masuk ke dalam jiwaku dan aku manjakan. Setelahnya aku terlena oleh kemunafikan itu dan membiarkan kemunafikan-kemunafikan yang lain menyetubuhiku terus menerus. Hingga kini aku menjadi bagian dari kemunafikan.
Jadi aku tidak bisa mengatakan bahwa senja itu indah, terutama di sore ini: senja menjadi sesuatu yang sangat memuakkan dan membosankan.

Seandainya satu kemunafikan itu tidak aku persilahkan masuk ke dalam relung jiwaku kemarin, dan mengiyakan ketersediaanku untuk menjadikan hubungan ini terikat kuat oleh tali pernikahan saat kamu menawarkannya kepadaku, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti yang sekarang ini. Aku hitam oleh cinta...

Sungguh, tak sepantasnya senja di sore ini aku cacimaki karena senja memang indah dan akan selalu terlihat indah. Yeah, seharusnya aku tidak punya alasan lain untuk mencacimaki senja, tapi entah mengapa kini aku selalu saja mencari-cari cara untuk mencacimaki keindahan senja. Apalagi setelah aku tidak pernah bisa lagi melihatnya dengan penuh kedamaian seperti dulu, yang biasa aku lakukan di setiap kesempatan: menatap senja yang merekah di tepi pantai bersamamu, saat kamu masih menjadi milikku...


ppfffhhh...